Rabu, 14 April 2010 ·

RUANG PAMERAN TETAP MINIRAMA III

Ruang pameran tetap Minirama III ini menceritakan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia sejak ditandatanganinya perjanjian Renville 17 Januari 1948 dan sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai dengan pengakuan kedaulatan RIS 27 Desember 1949, Belanda telah dua kali mengadakan aksi polisionilnya yang bermaksud menanamkan imperialismenya kembali di Indonesia.

Yang pertama, Agresi Militer Belanda I tanggal 21 Juli 1947 merupakan Pelanggaran yang dilakukan oleh Belanda terhadap persetujuan yang telah disepakati RI dan Belanda tanggal 25 Maret 1947 yaitu perjanjian Linggajati. Kemudian yang kedua Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 merupakan pelanggaran dari persetujuan yang telah disepakatinya bersama antara RI dan Belanda di atas kapal Renville tanggal 17 Januari 1948 kemudian terkenal dengan perjanjian Renville.

Pasukan Siliwangi Hijrah ke Yogyakarta :

Pasukan hijrah Siliwangi tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta pada tanggal 11 Pebruari 1948. Selanjutnya Pimpinan pasukan Mayor Mokoginto melapor kepada Panglima Besar Jenderal Sudirman. Hadir juga menerima kedatangan hijrah ini para pemimpin Negara antara lain wakil Presiden Mohammad Hatta, Arudji Kartawinata dan Ibu-Ibu kowani. Untuk Selanjutnya pasukan hijrah tersebut segera disalurkan ke pos-pos yang ditentukan.

Bantuan Obat-Obatan dari Pemerintah Mesir Melalui Pesawat Udara Tiba di Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta :

Pada tanggal 5 Maret 1948 pesawat pemerintah Mesir T-CCB mengangkut obat-obatan bantuan pemerintah Mesir tiba di Lapangan Terbang Maguwo (sekarang Adusujipto) Yogyakarta melalui PMI. Obat-obatan segera disalurkan ke pos-pos PMI yang memerlukan.

Pembukaan Pekan Olahraga Nasional Indonesia Pertama :

Pada tanggal 9-12 September 1948 Arak-arakan bendera PON dari Gedung Agung menuju ke Solo melalui Jl. Tugu Kidul (sekarang Jl.P.Mangkubumi). Sesampainya di Solo kemudian bendera PON dikibarkan di Stadion Sriwedari Solo. Acara dimeriahkan dengan senam masal. Cabang olahraga dalam PON I meliputi sepak bola, bola keranjang, bola basket, bulu tangkis, atletik, renang, tennis, panahan, pencak silat dll. PON I ditutup tanggal 12 September 1948. Upacara penutupan tersebut Panglima Jenderal Sudirman.

Agresi Militer Belanda II :

Pada tanggal 19 Desember 1948 pasukan Belanda telah berhasil menguasai lapangan Maguwo (sekarang Adusujipto) mengadakan sapu bersih terhadap apa yang ditemui di sepanjang jalan menuju Kota Yogyakarta (Jalan Solo). Pasukan Belanda Brigade T di bawah pimpinan Kapten Van Langen bergerak menuju pusat kota Yogyakarta sambil menghambur-hamburkan peluru menembak apa saja yang ditemui.

Stasiun Pemancar Radio Dalam Perang Gerilya :

Tahun 1949 kegiatan di stasiun pemancar radio PC-2 di Playen Gunung Kidul dalam perang gerilya. Stasiun darurat Radio Angkatan Udara Republik Indonesia PHB-PC2 yang berhasil diselamatkan di rumah keluarga Pawirosetomo di Desa Banaran, Kelurahan Banaran, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul telah disimpan sejak bulan Januari sampai dengan awal Maret tahun 1949.

Pemancar hanya beroperasi pada malam hari untuk menghindari intaian musuh. Antena yang dipakai dikerek diantara dua batang pohon kelapa yang kalau sudah selesai digulung kembali. Sedangkan generator diletakkan di bawah tanah. Tepatnya di bawah luweng (perapian untuk memasak nasi). Sehingga secara sekilas tidak terlihat mencurigakan.

Intimidasi dan Penggeledahan Terhadap Rakyat Oleh Belanda :

Pada tanggal 1 Februari 1949 penggeledahan oleh Belanda terhadap penduduk di Dusun Jati, Wonokromo, Bantul. Pada waktu itu Belanda secara aktif melaksanakan pembersihan di tempat tersebut. Merek berdalih mencari gerilyawan kemudian melakukan intimidasi terhadap rakyat yang ditemui, dan dipaksa menunjukkan sarang gerilyawan. Jika tidak mau menjawab tidak jarang dari mereka disiksa, rumahnya dibakar, dan bahkan ada yang sampai dibunuh. Pada umumnya mereka memilih mati atau disiksa oleh serdadu Belanda dari pada harus menunjukkan persembunyian para pejuang.

Perlawanan Gerilyawan TNI di Yogyakarta Selatan :

Pada tanggal 19 Februari 1949 penghadangan patroli Belanda di Dusun Mrisi, Kasihan, Bantul oleh Batalyon Sardjono. Dalam peristiwa tersebut berhasil diledakkan sebuah bran carier dan sebuah truk. Akibatnya sebanyak 13 orang serdadu Belanda tewas dan 4 orang lainnya mengalami luka-luka. Peristiwa-peristiwa semacam inilah yang menyebabkan pasukan Belanda enggan melakukan patroli di desa-desa dengan jumlah pasukan yang relative kecil. Karena hal itu hanya mengundang bahaya bagi mereka sendiri.

Sabotase Jetmbatan Duwer Untuk Menghambat Agresi Militer Belanda II :

Pada tahun 1948-1949 peledakan Jembatan duwet di Dusun Duwet, Kalibawang, Kulon Progo oleh gerilyawan TNI. Dengan demikian jalur gerak Belanda menjadi terputus. Bantuan tentara Belanda yang datang dari Purworejo dan Magelang dapat dihentikan. Juga pasukan yang datang dari Yogyakarta tidak dapat bebas bergerak.

Wilayah Banjarharja sama sekali tidak dapat ditembus oleh Belanda, dan selamatlah markas-markas perjuangan yang ada disana sampai dengan Yogyakarta kembali ke tangan RI 29 Juni 1949. Belanda hanya dapat menembusnya dengan tembakan mortar yang dilancarkan dari markasnya di Cebongan.

Dapur Umum di Daerah Gerilya :

Tahun 1948-1949 suasana Dapur Umum di markas Gerilya di Banaran, Banjarharjo, Kulon Progo di Rumah Bapak Kariyo Utomo. Di samping dipergunakan sebagai Dapur Umum, rumah Bapak Kariyo Utomo juga dipergunakan sebagai Markas Perjuangan Kolonel TB. Simatupang (Wakil KSAP) yang waktu itu tugasnya sangatlah berat. Beliau harus dapat mengatur pertahanan Jawa dan Sumatra. Hubungan antara MBKD (Markas Besar Komando Djawa), MBKS (Markas Besar Komando Sumatra) dan Panglima Besar Jenderal Sudirman juga menjadi tanggungjawabnya.

Serangan Umum 1 Maret 1949 :

Pada tanggal 1 Maret 1949 pasukan Gerilyawan TNI serta para pejuang lainnya mengadakan serangan terhadap Hotel Tugu dalam aksi serangan Umum 1 Maret 1949. Menjelang Serang Umum 1 Maret 1949 telah aktif mengadakan serangan pendahuluan untuk mengacaukan pertahanan Belanda di Sentul, Kantor Pos, dan Benteng Vredeburg. Dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, pihak RI timbul korban kurang lebih 353 gugur, sedangkan pihak Belanda menurut beritanya tidak kurang dari 213 tentaranya tewas.

Pencegahan Konvoi Tentara Belanda :

Bulan Maret 1949 pasukan Gerilyawan TNI pimpinan Kapten Widodo memasang trek bom di Jembatan Piyungan, Jl.Wonosari, Bantul. Tindakan konvoi Belanda dalam jumlah besar ini dimaksudkan untuk pamer kekuatan setelah dipermalukan oleh TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949.

Perlawanan Tentara Pelajar di Daerah Sleman :

Pada bulan Mei 1949 pasukan TP yang bermarkas di Redjodani, Ngaglik, Sleman melakukan penghadangan terhadap pasukan Belanda di Redjodani. Pada hari itu juga, kira-kira pukul 09.00-10.00 datang berita yang disampaikan oleh seorang wanita, bahwa sepasukan tentara Belanda telah bergerak dari arah Selatan dan diperkirakan akan menuju ke Ngetiran. Menurut informasi yang diterima bahwa jumlahnya sekitar 13 orang. Maka Sersan Suwono sebagai Komandan Regu I mengambil alih tugas pimpinan dibantu oleh Harsono. Ia segera menyebarluaskan berita tersebut kepada TP yang tersebar di desa Ngetiran. Sedang Sersan Suwono bergerak menyongsong pasukan Belanda dengan persiapan sepenuhnya. Untuk itu Sersan Suwono menempati posisi di sekitar jembatan beberapa meter jaraknya di sebelah utara jalan jurusan Yogyakarta Pulowatu. Oleh gerakan Sersan Suwono ini akhirnya Belanda bergerak mundur kembali ke selatan.

Pasukan Gerilya Masuk Kota Yogyakarta :

Pada bulan Juni 1949 pasukan Gerilya TNI (MA pimpinan Letnan Wiyogo Atmodarminto) masuk kota dari arah timur melalui kampong Pengok, Gondokusuman Yogyakarta di jemput Sri Paku Alam VIII didampingi oleh 2 orang dari Milobs. Pukul 12.00 pasukan mulai masuk kota didampingi Sri Paku Alam VIII dengan rute Pelemkecut Demangan Pengok dan kemudian menempatkan pos komandonya untuk sementara di Rumah sakit Pusat (Bethesda sekarang) dan dilanjutkan dengan upacara pengibaran bendera Merah Putih di halaman rumah sakit tersebut.

Para Pemimpin Negara ke Ibukota RI Yogyakarta :

Pada tanggal 6 Juli 1949 para pemimpin Negara antara lain Presiden Soekarno, Drs.M.Hatta, H.Agus Salim tiba di lapangan terbang Maguwo dari pengasingannya di Pulau Bangka Sumatra. Dengan adanya kesepakatan dari persetujuan Roem-Royen yang ditandatangani pada tanggal & Mei 1949 maka Presiden Soekarno yang berada di Sumatra segera memerintahkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku Menteri Negara koordinator keamanan untuk menyiapkan segala sesuatunya menjelang pengembalian Yogyakarta dari tangan Belanda, termasuk penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta.

Dalam persetujuan tersebut juga memuat prinsip bahwa Belanda akan membebaskan para tahanan politik yang ditawan Belanda sejak tanggal 19 Desember 1949 dengan tidak bersyarat. Ini berarti bahwa Presiden Soekarno, Drs.M.Hatta dan para pemimpin lainnya yang ditangkap sewaktu Belanda menjalankan aksi militernya yang kedua akan segera dikembalikan.

Panglima Besar Jendral Sudirman Menerima Penghormatan Dalam Parade Militer :

Tanggal 10 Juli 1949 pangsar Jenderal Sudirman menerima penghormatan dalam parade militer di Alun-alun Utara Yogyakarta sepulang dari perjuangan Gerilya. Menjelang pukul 06.00, tanggal 19 Desember 1948 datang secara bergelombang pesawat terbang Belanda di atas Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo, sambil melakukan penembakan dan pemboman disana-sini. Mengetahui hal tersebut Pangsar Jenderal Sudirman yang sedang sakit sejak Oktober 1948 segera memerintahkan ajudannya Kapten Separdjo Rustam untuk menyiapkan perintah harian untuk segenap anggota angkatan perang dan menghadap Presiden untuk menerima perintah.

Karena ditunggu sampai diantar jam 09.00 Kapten Soepardjo Rustam tidak kembali, maka dengan diantar oleh dokter pribadinya Dr.Soewondo dan Kapten Cokropranolo segera pergi ke Istana (Gedung Agung). Presiden memberitahu bahwa pemerintah belum melakukan tindakan apapun dan masih menunggu wakil presiden yang sedang mengadakan perundingan dengan KTN di Kaliurang. Sementara itu Kapten Soepardjo membawa Perintah Kilat No.I/PB/D/48 ke studio RRI Yogyakarta untuk disiarkan.

Konferensi Inter Indonesia :

Pada tanggal 19-22 Juli 1949 Drs.Mohammad Hatta sedang memimpin sidang Konferensi Inter Indonesia yang pertama di Hotel Toegoe Yogyakarta Jl. Pangeran Mangkubumi Yogyakarta. Pembukaan konferensi diadakan di Kepatihan Yogyakarta oleh Drs.M.Hatta pada tanggal 19 Juli 1949. Sedangkan konferensi lanjutan tahap kedua dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 31 Juli sampai dengan 3 Agustus 1949.

Pada Konferensi Inter Indonesia Tahap Pertama ini membicarakan masalah pembentukan RIS (Republik Indonesia Serikat) terutama tentang susunan dan hak-hak Negara bagian atau otonom, bentuk kerjasama RIS dengan Belanda akibat penyerahan kekuasaan.

Pelantikan Presiden Republik Indonesia Serikat :

Tanggal 17 Desember 1949 pada pukul 08.00 Ir.Soekarno dilantik sebagai presiden RIS (Republik Indonesia Serikat) oleh Ketua Mahkamah Agung Mr.Kusuma Atmaja di Bangsal Manguntur Tangkil, Sitihinggil, Kraton Kasultanan Yogyakarta. Disaksikan para undangan yang hadir antara lain : Drs. Mohammad Hatta, Mr.Muhammad Roem, Anak Agung Gde Agung, Mr.Sugiyo Pranoto, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan Sri Paku Alam VIII. Hadir pula wakil-wakil dari Negara bagian termasuk RI Yogyakarta, Pejabat Belanda dan wakil dari UNCI (United Nations Commision for Indonesia).

Setelah selesai acara pelantikan, dilanjutkan dengan penghormatan terhadap Presiden RIS dengan defile militer di Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta yang dipimpin oleh Kolonel Soeharto.

Pemerintah Republik Indonesia Serikat Pindah ke Jakarta :

Tanggal 28 Desember 1949 di lapangan Terbang Maguwo (sekarang Adusujipto) Yogyakarta Presiden Soekarno menginspeksi pasukan menjelang keberangkatannya ke Jakarta untuk memangku jabatannya yang baru sebagai Presiden RIS. Selama kurang lebih 4 tahun (1946-1949), Yogyakarta telah terbukti menjadi benteng Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh karena itu menjelang keberangkatannya ke Jakarta, Presiden Soekarno berkenan menuliskan kesannya atas Kota Yogyakarta yang berbunyi sebagai berikut :

Yogyakarta menjadi termashur oleh karena jiwa kemerdekaanya. Hidupkanlah ters jiwa kemerdekaan itu.”

Soekarno

28 Desember 1949

Demikianlah, sejarah telah membuktikan bahwa Yogyakarta dengan semangat kemerdekaan yang telah tertanam dalam sanubari rakyatnya telah mampu menjadi benteng Proklamasi kurang lebih selama 4 tahun.



0 komentar:

Museum Benteng Vredeburg

Foto saya
Jl. Jenderal Ahmad Yani 6 Yogyakarta 55121 Telp. (0274) 586934, Fax. (0274) 510996 e-mail : vrede_burg@yahoo.co.id

Museum Perjuangan

Pengikut

 
Salam Sahabat Museum, Yuk Ke MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA, Kita Semarakkan Tahun Kunjung Museum, AYO KE MUSEUM......