MENGENAL PAHLAWAN NASIONAL RM. SURYOPRANOTO

Sabtu, 30 April 2011 ·

Kesan kota Yogyakarta yang disampaikan oleh Ir. Sukarno, bahwa "Yogyakarta menjadi termashur olehkarena jiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaan itu". Kesan tersebut bukan muncul begitu saja tanpa alasan. Namun dilandasi oleh peristiwa-peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya.

Sejak zaman Kerajaan Mataram, Yogyakarta telah menorehkan tinta emas dalam album sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dari merintis hingga mengisi kemerdekaan. Deretan nama tokoh pahlawan nasional muncul dari Yogyakarta mengisi lembar demi lembar kenangan bangsa tersebut. Salah satu diantaranya adalah RM. Suryopranoto, seorang tokoh keturunan bangsawan Istana Pakualaman Yogyakarta. Karena kegigihannya dalam membela kaum buruh melalui pemogokan, oleh pamerintah Belanda diberi julukan "de staking koning" (raja pemogokan).

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jiwa pahlawannya". Demikianlah kata bijak yang sering kita dengan. Namun, akan lebih bijaksana jika pernyataan tersebut diberi makna baru, bahwa bukan hanya jiwa pahlawannya, namun juga jiwa perjuangannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, marilah kita coba renungkan kembali siapa dan bagaimana, pahlawan nasional RM. Suryopranoto.

Lahir Hingga Menjadi Pegawai Pemerintah Kolonial

RM. Suryopranoto dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal tanggal 11 Juni 1871. Ia adalah putra Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Suryaningrat, seorang pangeran istana Pakualaman putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam III yang lahir dari garwa padmi (permaisuri). Oleh KPA Suryaningrat, ayahnya, putra laki-laki tersebut diberi nama RM Iskandar. Anak laki-laki yang kelak lebih populer dengan nama RM. Suryopranoto tersebut merupakan putra pertama KPA Suryaningrat dari sembilan orang bersaudara. Adapun kedelapan adiknya antara lain: R.M.. Suryosisworo, Ray. Suwartiyah Bintang, R.Ay. Suwardinah Suryopratiknyo, R.M. Suwardi (Ki Hadjar Dewantara), R.M. Joko Suwarto (KRT. Suryoningrat), R.M. Suwarman Suryaningrat, R.M. Surtiman Suryodiputro, dan R.M. Harun Al Rosyid. (Drs. Suratmin, 1981/1982:19)

Tahun-tahun pertama RM. Iskandar tumbuh berkembang di lingkungan istana Pakualaman. Sebagai cucu pertama, RM Iskandar mendapat perlakuan istimewa dari eyang putrinya. Ia sangat dimanjakan. Ketika RM Iskandar sembuh dari sakit, apa saja yang dikehendakinya selalu dipenuhi. Oleh neneknya RM. Iskandar diajak ke pasar Prambanan dan apa yang dimintanya agar diambil dan abdi dalem yang mengawalnya yang akan membayar. Dalam perkembangannya RM Iskandar tumbuh menjadi bangsawan istana yang gamar berkelahi. Tabiat ini sudah nampak sejak masa kanak-kanak, sering terlibat dalam perkelahian dengan anak abdi dalem. Jika ada buah sawo kecik yang jatuh di halaman istana Pakualaman, RM Iskandar segera menyuruh perga anak abdi dalem yang telah berada disana. Jika seruannya tidak diindahkan maka perkelahian tak dapat dihindari dan baru selesai setelah ada abdi dalem yang melerainya. (Budiawan, 1991 : 25)

Pada usia kurang lebih tujuh tahun, RM Iskandar mengikuti ayahnya hidup dikampung, keluar dari istana Pakualaman. Peristiwa ini merupakan hal yang biasa, karena bila seorang pangeran telah berkeluarga, berhak untuk dibuatkan rumah tinggal di luar istana. Namun bagi KPA Suryaningrat, nampaknya peristiwa itu merupakan hal luar biasa. Seakan mereka memang dibuang dari kehidupan istana Pakualaman. Hal itu dilatarbelakangi oleh anggapan Belanda bahwa ayah KPA Suryaningrat (KGPAA Paku Alam III) merupakan anasir yang menghalangi perkembangan kolonialisme. Sehingga lengkap sudah cobaan yang diterima oleh KPA Suryaningrat setelah ia kehilangan haknya sebagai putra mahkota setelah menderita tuna netra saat memasuki usia dewasa. Sebagai pengganti KPA Suryaningrat, Belanda mengangkat saudara sepupunya yang bernama Pangeran Notoningrat sebagai KGPAA Paku Alam IV yang kemudian bergelar KGPAA Surya Sasranigrat. (Budiawan, 1991: 21)

Kepindahan KPA Suryaningrat sekeluarga, termasuk RM Iskandar, menjadikan kehidupan kampung lebih akrab dengan mereka. Pergaulan dengan kaum bangsawan menjadi berkurang dan sebaliknya pergaulan dengan anak kampung lebih meningkat. Kedekatannya dengan anak kampung terlihat jelas ketika RM Iskandar bersama anak-anak kampung belajar Al-Qur'an. Kadang-kadang setelah belajar, mereka tidak pulang dan tidur di masjid Kauman. Permainan dan kebiasaan RM Iskandar juga menyesuaikan dengan kehidupan anak-anak kampung lainnya, yang biasanya mengandung unsur petualangan. Salah satu petualangan yang biasa dilakukan oleh RM Iskandar adalah "memet" atau mencari ikan di Kali Code dibawah jembatan Sayidan. Petualangan lain yang sering dilakukan oleh RM Suryopranoto adalah berkelahi dengan para sinyo (anak-anak keturunan orang Belanda). Para sinyo melontarkan kata-kata yang bagi RM Iskandar begitu memekakkan teilinga dengan mengatakan orang bumi putera bodoh, biadab, ataupun orang Jawa Inlander. Ketika ucapan itu terdengar di hadapannya, RM Iskandar lalu menterjemahkannya sebagai tantangan untuk berkelahi. Hal itu ia perlihatkan ketika saudara sepupunya yang bernama Sutartinah (kelak menjadi Nyi Hadjar Dewantara) dihina oleh seorang sinyo Belanda.(Budiawan, 1991 : 29-31)

Memasuki usia belasan tahun, karena tabiatnya yang pemarah dan gemar berkelahi, di kampungnya yaitu sebelah timur Istana Pakualaman, RM Iskandar mendapat sebutan "Si Landung". Hal ini karena. tubuhnya yang gagah tinggi besar. Sebutan lain yang tak kalah populernya adalah "RM Iskandar Pendekar Jalanan. (Bambang Sukawati, 1983 : 24)

Meskipun ia telah hidup dan berbaur dengan anak-anak kampung, namun ikatan dengan istana Pakualaman tetap terjalin. Pada waktu-waktu tertentu, RM Iskandar sebagai keturunan bangsawan harus memenuhi kewajibannya untuk menghadap raja. Hal ini untuk menanamkan nilai-nilai disiplin, hormat, dan sopan. Dalam audiensi tersebut anak-anak dituntut dapat bersikap halus, sopan, tenang dan patuh.(Budiawan, 1991 : 27)

Memasuki usia tujuh tahun, RM Iskandar mulai memasuki dunia pendidikan formal di sekolah bentukan Belanda yaitu ELS (Europheesche Lagere School) sebuah sekolah rendah Eropa. Kesempatan untuk bersekolah di tempat ini dapat dinikmati oleh RM Iskandar karena kedudukannya sebagai seorang bangsawan sehingga dapat digolongkan dalam golongan pribumi yang dipersamakan (gelijkgesteld). Setelah lulus dari ELS, RM Iskandar mengambil kursus pegawai rendah (Klein Abtenaren Cursus) yang setingkat dengan MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondenvijs), yaitu setingkat SLTP sekarang. Lulus dari Klein Ambtenaren Cursus, RM Iskandar memperoleh ijazah Klein Ambtenaren -Examen. (Budiawan, 1991 : 32).

Dengan ijazah yang dimilikinya, RM Iskandar diterima sebagai juru tulis di sebuah kantor pemerintah kolonial di Tuban (Gresik). Ditempat kerjanya ini, RM Iskandar bertemu dengan RM Oemar Said Cokroaminoto, seorang pekerja dalam sebuah kongsi dagang. Fenomena yang disampaikan oleh Oemar Said Cokroaminoto kepada RM Iskandar berkisar masalah penetrasi kaum kecil (pedagang kecil) yang dilakukan oleh kaum pemilik modal (kapitalis). Ternyata apa yang disampaikan oleh Oemar Said Cokroaminoto ada kesamaan dengan apa yang terjadi di kantor tempat kerjanya, yaitu penghinaan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pejabat Belanda terhadap anak buahnya seorang pegawai rendahan pribumi. Namun pertemuan tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah itu RM Iskandar dipecat dari pekerjaannya. Hal itu disebabkan RM Suryopranoto menempeleng seorang kontrolir Belanda yang menghina seorang pegawai rendahan bumiputera. Tanpa menunggu surat pemecatan yang dikeluarkan oleh Kantor Kontrolir di Tuban, RM Iskandar segera pulang ke Yogyakarta, dan disambut dengan pujian ayahnya. Pangeran Sasraningrat pamannya selaku Gusti Wakil, beberapa hari kemudian mengangkatnya sebagai Wedono Sentono yang menyerupai kepala bagian administrasi kerabat Paku Alam dengan pangkat Pandji. (Bambang Sukawati, 1983 : 46-47)

Dengan jabatan barunya, RM Iskandar mampu lebih banyak belajar dari kondisi yang berkembang di Pakualaman. Kaum lemah menjadi makanan kaum kuat. Rentenir meraja lela. Bagi RM Iskandar hal ini merupakan "genderang perang" untuk memanbantu kaum lemah. Pada tahun 1900 RM Iskandar bersama dengan kawan-kawannya mendirikan perkumpulan yang diberinama "Mardi Kaskaya", yaitu sebuah organisasi yang menyerupai usaha simpan pinjam.(Bambang Sukawati, 1983 : 48) Disamping itu, karena ketertarikannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, RM Iskandar tahun 1901 mendirikan sebuah klub atau medan pertemuan yang diberinama Societeit Sutrohardjo. Dalam klub ini orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti surat kabar, majalah dan sebagainya.(Budiawan, 1991:48)

Dua buah organisasi sosial ekonomi yang berhasil dibentuk oleh RM Iskandar tersebut menimbulkan dampak yang luar biasa. Majunya "Mardi Kaskaya" menjadikan ruang gerak rentenir yang telah lama menekan hidup rakyat menjadi lebih sempit. Bahkan kebencian rakyat terhadap mereka (rentenir) tidak jarang memunculkan makian yang berbuntut perkelahian. Hal itu karena reaksi rakyat ditanggapi oleh mereka. Fenomena ini oleh Asisten Residen dipandang sebagai gejala yang mengganggu ketertiban umum. Kondisi ini langsung dikaitkan dengan keberadaan "Mardi Kaskaya". Oleh karena RM Iskandar adalah pendiri dan penggeraknya, maka tuduhan terhadapnya sebagai biang keladi semuanya itu tidak terelakkan. Atas dasar tuduhan tersebut rencana membuang RM Iskandar telah disiapkan. Dengan dalih disekolahkan ke MLS (Middelbare Landbouw School) atau Sekolah Mengah Pertanian di Bogor, RM Suryopranoto berusaha dibuang. (Budiawan, 1991:49)

Sesampainya di Bogor, RM. Iskandar tidak semata-mata hanya belajar saja, namun tetap aktif bergaul dengan pelajar-pelajar lainnya baik dari kalangan bupitera maupun indo. Beberapa sahabat barunya yang berhasil memberikan nuansa baru dalam cakrawala berpikirnya antara lain: Van Hinloopen Labberton seorang tokoh theosofi Belanda tempat RM Suryopranoto mondok, Ernest Eugene Douwes Francois Dekker seorang peranakan Jawa Belanda yang berjiwa ksatria, H. Van Kol, van De Venter, dan para pelajar pribumi baik yang sedang belajar di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Arisen) atau Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. (Budiawan, 1991:50)

Pada tahun 1904 ketika RM Iskandar dan seorang pemuda bernama Achmad merigurus adiknya RM Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang mendapat tugas belajar di STOVIA, mempergunakan kesempatan tersebut untuk mempropagandakan sebuah organisasi yang digagasnya, yaitu "Pirukunan Jawi". Karena waktunya yang kurang pas maka propaganda tersebut belum berhasil. Ketika itu Soetomo tokoh Budi Utomo, belum banyak perannya di STOVIA. (Bambang Sukawati, 1983 :54)

Perkenalannya dengan Van Hinloopen Labberton memberikan dasar-dasar ilmiah dalam pemikiran Islam, sehingga RM Iskandar mampu mengembangkan Islam dalam konteks ilmiah. Sedangkan melalui EEF Douwes Dekker banyak keuntungan yang diraih oleh RM Iskandar. Disamping mampu memperluas cakrawala berpikirnya dengan mengadopsi buah-buah pikiran yang dilontarkan tokoh pendukung politik etis ini, juga adanya bibliothiek besar di rumahnya yang terbuka bagi siapa saja, termasuk para pelajar pribumi. Ditambah lagi bahwa EEF Douwes Dekker memberi kesempatan kepada RM Iskandar untuk membantu dalam dewari redaksi Bataviaasch Niewsblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda dibawah pimpinan EEF Douwes Dekker. Pada sisi lain H Van Kol dan Van De Venter yang dikenal sebagai tokoh sosialis Belanda dan penganjur politik etis, serta simpatisan terhadap pergerakan nasional, memberikan masukan yang berharga bagi RM Iskandar tentang pengetahuan awal mengenai paham sosialisme yang digeluti oleh hampir setiap aktifis pergerakan. Dari mereka berdua ini pula RM Iskandar banyak memperoleh buku-buku te ntang Sosialisme, Demokrasi, Nasionalisme dan lain sebagainya (Budiawan, 1991 :55)

Pada tahun 1907, RM Iskandar berhasil menyelesikan pendidikannya di MLS dan berhak atas dua buah ijazah sekaligus yaitu Landbouw Kundige (ahli pertanian) dan Landbouw Leeraar (guru pertanian). Dengan ijazah tersebut RM Iskandar dipekerjakan di Wonosobo sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo, Dieng, dan Batur guna mengawasi perkebunan tembakau di Kejajar - Garung. Kemudian ia dipindahkan ke Wonosobo karena harus memimpin sebuah sekolah pertanian. Ketika menjalankan pekerjaannya di Wonosobo, RM Iskandar bertemu dengan seorang gadis, anak Kyai Abdussukur penghulu Agama Karang Anyar yang bernama Jauharin Insyiah, yang kemudian menjadi Nyonya Suryopranoto. Sejak perkawinan itulah maka dengan resmi nama RM Iskandar diganti menjadi RM Suryopranoto. (Bambang Sukawati, 1983 : 55)

Dari perkawinannya dengan R.Ay. Jauharin Insiyah, R.M. Suryopranoto dianugerahi empat orang putri dan enam orang putra, yaitu: 1. R.Ay. Retno Setoadi Yudopranoto, 2. R.M. Sumaryo, 3. R.Ay. Sri Kamariyah Sumarno, 4. R.M. Sutaryo, 5. R.M. Sunaryo, 6. R.Ay. Retno Setyati Sriyono Suryosuparto, 7. R.M. Suharyo, 8. R.Ay. Endang Sasakamdani Abdullah Kartoatmojo, 9. R.M. Imam Sumantri, S.H., 10. R.M. Bambang Susilarjo. (Drs. Suratmin, 1981/1982:25-26)

Masuk Dunia Pergerakan

Pada tanggal 20 Mei 1908, di Jakarta tepatnya di gedung STOVIA, dicetuskanlah beridirinya Organisasi Budi Utomo. Nampaknya organisasi yang dipelopori oleh Dr Wahidin Sudirohusodo dengan program Studie Fond-nya ini telah menyentuh hati RM Suryopranoto. Hal ini mungkin dilandasi oleh beberapa kali pertemuannya dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang ketika masih di Yogyakarta pernah menjadi dokter keluarga ayahnya. Disamping itu, pembicaraan yang agak serius pernah berlangsung ketika Dr. Wahidin Sudirohusodo singgah di pondokannya di Bogor. Mungkin pula adanya ide mendirikan "Pirukunan Jawi" yang gagal ada hubunganya dengan kedekatannya dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo. (Budiawan, 1991 :58-59)

Ketertarikannya RM Suryopranoto terhadap Budi Utomo ini, dibuktikan bergaungnya RM Suryopranoto ke dalam organisasi tersebut. Bahkan dalam kongresnya pertama di Yogyakarta tanggal 3-5 Oktober 1908, RM Suryopranoto terpilih sebagai Secretaris Hoofbestuur. Namun ketertarikan RM Suryopranoto terhadap Budi Utomo berlangsung kurang lebih hanya empat tahun. Setelah berkiprah di dalam Budi Utomo, antara lain dalam pembentukan Onderling Leven-Zekering Maatschappij PGHB (sebuah organisasi yang bergerak dlam bidang asuransi jiwa, yang kemudian berkembang menjadi O.L. Mij Bumi Putera dan selanjutnya menjadi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912) dimana dia menjadi anggota dewan komisaris bersama dengan Sastrowidjojo, Soetandar, dan Dwidjosewojo yang selama menjalankan tugasnya tidak pernah digaji, akhirnya RM Suryopranoto menemukan hal-hal yang tidak memuaskan dalam Budi Utomo.(Budiawan, 1991:62,66-67)

Budi Utomo yang kebanyakan dipimpin oleh kaum priyayi menyebabkan emansipasi sosial yang meperjuangkan rakyat kecil menjadi terganjal. Disamping itu dominasi kelompok tua menggiring organisasi Budi Utomo mengarah pada kooperatif dengan pemerintah Belanda. Ketidak puasan tersebut berpuncak pada keluarnya RM Suryopranoto dan beberapa tokoh dari organisai tersebut dan bergabung ke organisasi lain yang dipandang cocok. RM Suryopranoto keluar dari Budi Utomo dan masuk ke SI (Sarekat Islam) yang setahun sebelumnya bernama SDI (Serikat Dagang Islam) yang berdiri di bawah pimpinan Haji Saman Hudi tahun 1911.(Bambang Sukawati, 1983 : 57)

Kelahiran SI yang dianggap berhasil menyuarakan cita-cita emansipasi sosial menimbulkan daya tarik bagi sejumlah aktifis. Hal ini sangat berbeda dengan Budi Utomo yang menerjemahkan cita-cita emansipasi itu hanya dalam dunia pendidikan untuk dapat mengakat martabat kaum bumi putera yang dalam prakteknya hanya terbatas pada kaum priyayi. SI dengan tegas mendifinisikan cita-citanya sebagai suatu penentuan nasib sendiri dalam politik. Dalam perjuangannya, SI selalu menampakkan sifatnya yang anti kapitalis dan menentang praktek feodalisme. Inilah yang menarik bagi RM Suryopranoto sehingga ia memilih menjadi bagian di dalamnya. Dalam susunan pengurus SI pusat atau CSI (Central Sarekat Islam), RM Suryopranoto berhasil terpilih sebagai salah satu anggota komisaris melalui kongres I SI di Yogyakarta tahun 1914. Ketika itu RM. Suryopranoto masih berkedudukan sebagai Secretaris Hoofbestuur Budi Utomo dan sekaligus sebagai Kpala Dinas Pertanian dan Kepala Sekolah Pertanian di Wonosobo. Bisa dibayangkan betapa sulitnya dalam mengatur waktu. Namun bagi RM. Suryopranoto niat dan semangatlah yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dia hadapi. (Budiawan, 1991 : 68-69)

Pada tahun 1915, peristiwa aksi sepihak muncul di depan mata RM. Suryopranoto. Dengan alasan karena masuk menjadi anggota SI, seorang pegawai rendahan pribumi dipecat dari pekerjaanya. Bagi RM. Suryopranoto, hal ini dianggap sebagai panggilan untuk memperjuangkan keadilan yang telah telah menjadi tekadnya. Sifat seorang bertemperamen tinggi mulai muncul, dengan mendatangi pejabat Belanda dengan amarah yang meledak-ledak. Bahkan aksi protesnya dilakukan dengan tindakan yang luar biasa dalam kondisi waktu itu. Secara demonstratif, RM. Suryopranoto mengeluarkan Surat Pengangkatan Jabatan dan Ijazah yang diperolehnya dari MLS Bogor. Dihadapan pejabat Belanda itu, disobek-sobeklah kedua surat berharga itu, sambil mengucapkan janji bahwa mulai saat itu RM. Suryopranoto tidak akan lagi bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda. Apa yang diucapkan oleh RM. Suryopranoto bukan hanya di bibir saja. Berkali-kali pembesar Belanda mencoba untuk menyuapnya agar mau dan bersedia lagi bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda. Namun hal itu tidak ditanggapinya. Dengan lepasnya RM. Suryopranoto dari ikatan dinas dengan pemerintah kolonial Belanda, kebebasan yang sebebas-bebasnya akhirnya dapat diraih. Dengan demikian curahan perhatiannya kepada dunia pergerakan dapat dilakukannya dengan maksimal. (Bambang Sukawati, 1983 : 59)

Sebagai seorang pribadi yang dinamis, keras, dan berjiwa petualang, RM. Suryopranoto tidak dapat tinggal diam. Di dalam organisasi barunya yaitu SI, bersama dengan rekan-rekannya antara lain: Raden Joyodiwiryo, Raden Sastrowiyono, dan Raden Muso, RM. Suryopranoto mendirikan Organisasi Tentara Buruh Adhi Dharma, dimana ia duduk sebagai pimpinannya. (Bambang Sulistyo, 1995 : 44)

Organisasi Adhi Dharma ini, sesuai dengan namanya yang mempunyai arti "Kewajiban Utama", merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang sosial-ekonomi dan sosial-pendidikan. Untuk merealisasikan misi yang telah dicanangkan yaitu meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan-rakyat serta meningkatkan kehidupan di bidang sosial ekonomi, maka berbagai usaha telah dijalankan oleh Adhi Dharma. Adapun usaha-usaha tersebut antara lain: 1) Mendirikan sekolah-sekolah umum bagi rakyat dan kaum miskin dalam bentuk SD / HIS, SMP, Sekolah Guru dan Schakel School. HIS Adhi Dharma ini merupakan sekolah partikelir pertama yang didirikan di Indonesia. 2) Mengadakan penyebaran inf ormasi melalui ceraman dan diskusi kepada generasi muda tentang kemasyarakatan dan pergerakan. Sebagai hasil nyata dari usaha ini maka lahirlah JIB / Jong Islamieten Bond yang diketuai oleh Syamsoeridjal adik bungsu Nyonya Suryopranoto. 3) Membuka biro-biro bantuan hukum khususnya bagi kaum lemah atas tindakan sewenang-wenang para penguasa. Lembaga ini sangat membantu rakyat yang tertindas. Keberadaan RM. Suryopranoto yang langsung menangani lembaga ini, menjadikan rakyat menjadi terlindungi jika berada di bawah naungan Adhi Dharma. 4) Mendirikan Koperasi Gotong Royong dengan nama Mardi Kaskaya, yang dulu pernah ada tahun 1900, namun tidak berkembang semenjak ditinggal oleh RM. Suryopranoto ke Bogor untuk menempuh pendidikan di MLS. 5) Membentuk brigade kesehtatan rakyat "Adhi Dharma". 6) Mengadakan pendidikan kader melalui majalah "Medan Budiman". 7) Mendirikan Gedung Adhi Dharma di Jl. Gunung Ketur Yogyakarta. 8) Mengembangkan cabang-cabang Adhi Dharma di berbagai kota seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra. (Bambang Sukawati, 1983:72-74)

Disamping sebagai pemimpin Adhi Dharma, RM. Suryopranoto juga merupakan anggota komisaris CSI, dan sekaligus pengurus SI Cabang Yogyakarta. Sehinga bukan tidak beralasan apabila sekolah-sekolah Adhi Dharma oleh RM Suryopranoto dinyatakan sebagai sekolah SI. Untuk itu bagi anggota-anggota SI yang berniat menyekolahkan anak-anaknya dianjurkan untuk pergi ke Yogyakarta. (Bambang Sulistyo, 1995 : 49)

Tugas RM. Suryopranoto yang menduduki tempat penting bersama Haji Umar Said Cokroaminoto dalam SI, adalah mengurus masalah gerakan buruh dan tani. Tugas ini, dikaitkan dengan hasil kongres SI di Surabaya tahun 1918, merupakan bidang garapan pokok SI. Oleh karena itu pada tahun 1919, dalam kongres SI di Surabaya, setelah mempertimbangkan dan mempelajari perkembangan yang terjadi, RM. Suryopranoto berani menegaskan bahwa sudah waktunya dilakukan aksi massa untuk melaksanakan program SI menuntut dihapusnya kerja paksa, pembagian air sawah rakyat tani, serta adanya kuli ordonansi. Sebagai bentuk tangapan dari apa yang ditegaskan oleh RM. Suryopranoto tersebut maka di berbagai daerah muncul aksi-aksi sporadis menentang tindakan kaum kapitalis antara lain berupa pembakaran kebun tebu dan pemogokan. (Bambang Sukawati, 1983 : 75)

Melihat kenyataan yang ada, maka RM. Suryopranoto melalui Adhi Dharma berusaha mengubah gerakan massa tersebut ke dalam bentuk gerakan yang terkoordinasi dalam sebuah organisasi. RM. Suryopranoto menyatakan bahwa kaum buruh dan tani harus bersatu memperjuangkan kepentingannya tanpa harus melanggar peraturan dengan melakukan tindak pencurian dan pembakaran. Usaha tersebut menjadi kenyataan setelah bulan Agusutus 1918, RM Suryopranoto mengumumkan beridirinya Personeel Fabriek Bond (PFB), Perkumpulan Tani dan Koperasi yang kemudian lazim disebut dengan Perkumpulan Kaum Tani atau Sarekat Tani, dan Perserikatan Kaum Burum Umum (PKBO / Perserikatan Kaoem Boeroeh Oemoeni). Kembali RM. Suryopranoto menganjurkan agar buruh tetap pada pabrik menjadi anggota PFB, buruh musiman di perkembunan tebu masuk menjadi anggota PKBO, dan kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik agar mendirikan koperasi dan bergabung dalam Sarekat Tani. Ketiga organisasi tersebut diketuai oleh RM. Suryopranoto. Dalam perkembangannya PFB segera menjadi kuat dibawah SI Yogyakarta. (Bambang Sulistyo, 1995 :72)

Mulai akhir tahun 1918 anggota PFB kira-kira 700 orang, pada akhir tahun 1919 menjadi lebih kurang 8.000 orang yang tersebut di 90 pabrik gula. Memasuki bulan Desember 1919 anggota PFB mencapai 8.723 dan bulan April 1920 anggota PFB telah mencapai 31.000 orang yang tersebut ke 190 pabrik bula. Dengan demikian anggota PFB telah tersebar ke seluruh pabrik gula di Jawa dan merupakan organisasi buruh terbesar di Indonesia.(Bambang Sulistyo, 1995 :86)

Tahun-tahun sesudah berkecamuknya Perang Dunia I merupakan masa yang sulit. Hal itu sangat dirasakan oleh sebagian besar rakyat di Hindia Belanda. Peristiwa tersebut mengakibatkan buruknya situasi ekonomi di Eropa yang ditandai dengan semakin merosotnya barang-barang produksi Eropa. Sementara itu daerah Hindia Belanda sangat menggantungkan diri pada impor barang-barang kebutuhan pokok dari Eropa. Sesuai dengan hukum ekonomi, dimana kebutuhan meningkat maka harga barangpun menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika harga barang-barang tersebut juga naik. Hal itu sungguh berbeda dengan apa yang terjadi dengan upah buruh. Upah buruh tidak dapat mengikuti naiknya harga barang-barang, kalaupun upah buruh naik, namun tidak sebanding dengan harga barang-barang yang ada. Kondisi ini sangat menyengsarakan rakyat, khususnya para buruh. (Budiawan, 1991 : 86)

Aksi Pemogokan

Kondisi tersebut memancing munculnya aksi para buruh yang menuntut perbaikan nasib, yang salah satu model yang dipakai adalah pemogokan. Aksi ini akan berhasil jika didukung oleh momentum yang tepat dimana waktu itu posisi buruh sangat dibutuhkan oleh pemilik modal guna meningkatkan produksinya, dan adanya solidaritas antar kaum buruh dengan tidak memanfaatkan keadaan jika aktifis pemogok di kenai sangsi (dipecat), buruh lain agar tidak mau mengisi lowongan yang ada. Koordinasi ini akan berjalan dengan baik jika dibentuk suatu organisasi sekerja. Dengan latar belakang inilah maka dalam rapat CSI di Yogyakarta pada akhir Desember 1919 diputuskan untuk didirikan federasi buruh yang bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dengan susunan pengurus sementara adalah Semaun (ketua), RM. Suryopranoto (Wakili Ketua), Bergsma (Bendahara). Adapun basis PPKB berada di Semarang. Susunan tersebut selanjutnya disempurnakan dalam kongres PPKB I tanggal 1 Agustus 1920 di Semarang, dengan format baru yaitu: Semaun (ketua), RM. Suryopranoto (Wakil Ketua), H. Agus Salim (Sekretaris), dan Alimin (Pembantu). (Budiawan, 1991: 88 dan 96)

Sejalan dengan lahirnya PPKB yang kemudian muncul cabang-cabangnya di seluruh Jawa, pada sekitar pertengahan 1920 muncul berbagai aksi pemogokan yang waktunya hampir bersamaan antara lain di Electische Zagerij (Pabrik Gergaji Listrik) di Surabaya, perusahaan perkebunan Tembakau di Klaten, drukkerij (percetakan) "Sindoro" di Pekalongan, pabrik tapioka di Malang, pabrikgula di Malang, pabrik gula di Langse, Pati, dan pabrik kayu di Malang, pabrikgula di Surabaya, dan Kanigoro, Madiun, Posbond di Weltevreden, dan pabrik gula di Tegal. Disitu terlihat bahwa aksi pemogokan banyak terjadi di pabrik gula. Hal itu dapat dimengerti, karena gula pada waktu itu memegang peran sebagai komoditi eksport yang menjanjikan, serta disitulah nasib buruh banyak bergantung. Dalam hal ini, peranan RM Suryopranoto bersama PFB-nya cukup besar. Hal ini terkait dengan propanda yang dilakukannya di daerah-daerah dekat pabrik gula. PFB yang mengangkat masalah ekonomi, bukan politik, masih dapat ditolerir oleh para penguasa perkebunan dan pemerintah. (Budiawan, 1991 : 90)

Jumlah massa PFB yang cukup besar, dan kondisi obyektif dimana kebencian rakyat terutama buruh terhadap kaum kapitalis mulai meluap-luap, RM. Suryopranoto dengan optimis menyerukan bahwa mobilisasi buruh besar-besaran dengan melakukan pemogokan umum untuk memperoleh kemenangan akan berjalan dengan lancar. Namun seruan yang disampaikannya dalam Kongres PPKB tanggal 1 Agustus 1920 di Semarang tersebut ditanggapi negatif oleh Semaun ketua PPKB sementara. Menurutnya, RM. Suryopranoto telah melakukan aksi-aksi pemogokan sebelumnya yang tidak dikonsultasikan dulu dengannya. Akan tetapi tanggapan Semaun tersebut tidak digubrisnya, ia tetap jalan terus. Langkah awal yang dilakukannya yaitu mengirimkan ultimatum kepada Suikersyndicaat (para majikan gula) pada tanggal 9 Agustus 1920. Ultimatum yang diajukan tersebut kurang lebih berisi bahwa upah buruh yang rendah, sementara biaya hidup telah melambung tinggi, dan pimpinan pabrik gula menolak membahas hal-hal yang menyangkut nasib buruh tersebut memicu keresahan para buruh. Disaming itu PFB menuntut agar keberadaannya diakui sebagai organisasi serikat buruh gula. Jika tuntutan tersebut tidak dikabulkan maka dalam waktu dekat akan dilangsungkan pemogokan umum. (Budiawan, 1991:97-98)

Sesudah ultimatum tersebut tidak ditanggapi, maka RM. Suryopranoto
mengumumkan berlangsungnya pemogokan tanpa dukungan dari Semaun
dan kelompoknya. Pemogokan pertama kali di Indonesia berlangsung dari pabrik gula Padokan Yogyakarta, kemudian munyusul pabrik Gula Nglungge Delanggu, Sala, jatiroto dan seterusnya meluas di seluruh Jawa. RM. Suryopranoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat. Karena aksinya inilah maka Pers Belanda memberi gelar kepada RM Suryopranoto dengan "De Stakingskoning" (si Raja Pemogokan). (Bambang Sukawati, 1983:76)

Meski tuntutan-tuntutan mengenai kenaikan upah dapat dikabulkan oleh kaum kapitalis para pemilik pabrik gula, yang juga bearti meningkatkan kaum buruh, namun pada akhirnya PFB gagal diakui sebagai organisasi buruh. Di sinilah awal keruntuhan PFB. Dari peristiwa ini menyebabkan pamor RM. Suryopranoto dan PFB mulai menyurut. Cabang-cabang PFB di daerah mulai melepaskan diri dan kehilangan kontrol dari pusat. Bahkan ada yang kemudian justru mendirikan sarikat baru dengan nama SBP (Serikat Buruh Pabrikan) yang berorientasi ke Semarang (kubu Semaun). Yang terjadi kemudian adalah pemogokan-pemogokan yang bersifat lokal. Isu yang dimunculkan hanyalah berkisar masalah kenaikan upah dan pengurangan jam kerja. Ini berarti mereka telah berjalan sendiri dan menurut kepentingan sendiri-sendiri pula. Disamping itu PFB mengalami kehancuran akibat krisis finansial yang dialaminya. Guna memperbaiki keadaan, pada tanggal 31 Desember 1920 - 2 Januari 1921 diadakanlah kongres PFB. Dalam kongres tersebut, guna memperbaiki kondisi finansial organisasi, RM Suryopranoto menghimbau agar iuran anggota PFB lebih teratur lagi. Namun apa yang disampaikan oleh RM Suryopranoto kurang mendapat tanggapan dari anggotanya. Kian hari kondisi keuangan PFB semakin buruk sehingga untuk membayar sewa kantor saja sudah tidak mampu lagi, sehingga harus dipindahkan ke salah satu gedung kosong di Sekolah Adhi Dharma. Bukanlah RM. Suryopranoto jika harus menyerah di tengah jalan. Meski keadaan jauh dari seperti yang diharpakan, RM. Suryopranoto pantang menyerah. Dia tetap menyerukan aksi pemogokan umum pada musim giling tebu tahun 1921. Namun para buruh yang kebanyakan telah belajar dari pengalaman, yaitu dipecat dan tidak dipekerjakan kembali setelah aksi mogok, rnaka seruan RM Suryopranoto tidak mendapat tanggapakan yang positif, dan ini berarti rekonsiliasi PFB gagal. (Budiawan, 1991:114,117-118)

Dalam salah satunya pidatonya di Delanggu, RM Suryopranoto melakukan kritik terhadap pemerintah bahkan telah berani menghina polisi yang bertugas mengawasi rapat. Atas tuduhan tersebut RM Suryopranoto terkena Spreekdelict, dan dihadapkan pada Raad van Justitie sehingga harus menerima hukuman penjara selama dua minggu di Malang sejak akhir Desember 1921. Memasuki bulan Januari 1922 RM. Suryopranoto telah keluar dari penjara. Sementara itu pada tanggal 28 Januari 1922, PPPB menyelenggarakan rapat umum di Yogyakarta yang sekaligus menyambut pembebasan RM Suryopranoto dari penjara. Dalam petemuan itu RM Suryopranoto menyampaikan pidato bahwa pemogokan merupakan day a upaya buat mendidik kemerdekaan kaum buruh. Selanjutnya untuk persiapan pemogokan umum dibentuk Comite Hidoep Merdeka yang diketuai oleh RM Suryopranoto. Meski telah dipersiapkan, namun pemogokan gagal dilaksanakan. Hal ini karena adanya intimidasi dari pemerintah, yang akan memecat karyawan pegadaian jika diketahui terlibat dengan aksi pemogokan yang diinstruksikan oleh PPPB. (Budiawan, 1991:129 dan 133)

Titik Balik

Semenjak rencana pemogokan umum PPPB (Januari-Februari 1922) gagal, situasi pergerakan buruh mengalami pasang surut. RM. Suryopranoto sebagai ketua PPPB dan Prawirowijoto selalu sekretaris PPPB segera melakukan perbaikan. Namun perbaikan yang dilakukannya tidak lebih hanyalah bersifat defensif, dan sangat menurun radikalitasnya, bahkan sampai ia ditahan di Semarang tahun 1926 selama enam bulan, geliat pergerakan buruh semakin tidak terasa. Keluar dari penjara, RM Suryopranoto mulai bersikap lebih moderat dan kooperatif. Meski demikian ia tetap konsisten dengan idealismenya. Sikap moderat itu tampak ketika dalam rapat bersama antara PPPB dan VIPBOW (Vereniging Inheems Personeel Burgerlijke Openbare Werken) yang berlangsung tanggal 31 Mei 1919. Salah satu keputusannya adalah rencananya membentuk sentral baru yang anggota-anggotanya hanya terbatas para pegawai pemerintah saja. Sentral baru tersebut kemudian bernama PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri). Selain itu diputuskan pula bahwa sentral baru ini tidak berpolitik serta tidak beraliran agama. Memasuki tahun 1930, ketika usianya memasuki 60 tahun, RM. Suryopranoto disamping aktif dalam PVPN, juga aktif dalam sebuah partai politik dengan bergabung dengan PSII (Partasi Sarikat Islam Indonesia). Dalam partai itu RM Suryopranoto duduk sebagai anggota Dewan Partai atau Majelis Takkhim bersama dengan H. Agus Salim, sertai berberapa yang lain, dengan diketuai oleh HOSCokroaminoto. (Budiawan, 1991:157-159)

Namun PSII yang moderat itu, dalam perkembangannya memunculkan sifat lamanya yaitu keras dan radikal. Dalam perkembangannya dalam tubuh PSII terjadi pertikaian antar pimpinan. Hal ini memunculkan dua kubu yang sulit dipertemukan. Yang satu adalah Duet Cokro - Salim (Cokroaminoto dan Agus Salim) dan Suryo - Sukiman (RM Suryopranoto dan Sukiman). Akibat dari pertikaian itu Sukiman dipecat oleh Cokroaminoto dan kemudian mendirikan PII (Partai Islam Indonesia). Sedangkan RM. Suryopranoto mengundurkan diri dari PSII dan selanjutnya menggabungkan diri pada PII. Dalam PII ini RM Suryopranoto hanya duduk sebagai anggota dan tidak begitu aktif lagi. Makin lama aktifitasnya dalam politik makin berkurang. Selanjutnya RM Suryopranoto lebih aktif dalam dunia pendidikan dengan mengajar murid-murid Sekolah Adhi Dharma dan menulis. Melalui hobinya yang suka menulis ini RM Suryopranoto ditangkap dan dijebloskan ke dalam Penjara Sukamiskin mulai tahun 1933 - 1935. Tindakan ini dilatarbelakangi oleh tulisan RM. Suryopranoto yang berupa Encyclopedic Socialisme, yang direncanakan terbit dalam 3 jilid. Namun sebelum karya itu selasai, RM Suryopranoto keburu ditangkap oleh polisi kolonial. Hal itu karena dalam karyanya tersebut RM Suryopranoto telah menghasut rakyat. (Budiawan, 1991:161)

Keluar dari Penjara Sukamiskin, kondisi RM. Suryopranoto mulai menurun. la memutuskan mengundurkan diri dari kegiatan politik dan keluar dari PII. Waktunya dipergunakan untuk kegiatan di Instituut Adhi Dharma. Disamping ilmu pertanian, ia memberikan pelajaran berbagai cabang ilmu seperti tatanegara, ilmu bumi, ekonomi, sosiologi, dan sejarah. Pada masa pendudukan Jepang, RM Suryopranoto semakin menjauh dari kegiatan politik. Disamping karena seluruh kegiatan politik dilarang untuk dilakukan oleh Jepang, juga faktor usia yang telah lanjut. Perguruan Adhi Dharma pun waktu itu tidak luput dari larangan tersebut. Karena Adhi Dharma ditutup, RM. Suryopranoto membantu mengajar di Taman Tani Tamansiswa, disamping juga mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun setelah masa pendudukan berakhir, dan memasuki masa kemerdekaan, Perguruan Adhi Dharma dibuka kembali dan RM Suryopranoto kembali mengajar di perguruan tersebut. Disamping itu ia memberikan kursus-kursus politik. Agar kursus tidak hanya dapat diikuti anak-anak sekolah saja, maka materi yang diberikan diterbitkan dalam buku antara lain: 1) Dasar Peladjaran Politik, 2)Tjara Mendirikan Perserikatan, 3) Dasar Tata negera Indonesia. (Budiawan, 1991:162-164)

Menyadari keadaan fisiknya maka sejak tahun 1949 ia berhenti mengajar dan memberi kursus dan lebih banyak tinggal di rumah untuk melakukan kegiatan spritual dengan belajar dan menghanyati Al-Qur'an. Membuat kliping-kliping artikel keagamaan juga sering dilakukakan. Kebanyakan sumber yang diambil adalah dari koran Kedaulatan Rakyat.(Budiawan, 1991:166)

Pada tanggal 15 Oktober 1959, RM Suryopranoto meninggal dunia di Cimahi, Jawa Barat. Jenazahnya dikembumikan di Makam "Rachmat Jati" Kota Cede, Yogyakarta, tanggal 17 Oktober 1959, dengan upacara kemiliteran sebagai seorang Perwira Tinggi, Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 310, RM. Suryopranoto dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional Rebulik Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1960 juga kepadanya diterimakan anugerah Bintang Maha Putra Tingkat II Republik Indonesia.(Budiawan, 1991: 81 dan 178)

0 komentar:

Museum Benteng Vredeburg

Foto saya
Jl. Jenderal Ahmad Yani 6 Yogyakarta 55121 Telp. (0274) 586934, Fax. (0274) 510996 e-mail : vrede_burg@yahoo.co.id

Museum Perjuangan

Pengikut

 
Salam Sahabat Museum, Yuk Ke MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA, Kita Semarakkan Tahun Kunjung Museum, AYO KE MUSEUM......