Kartini tidak di karuniai Tuhan umur panjang. Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Tetapi umur yang pendek itu sempat menggoreskan riwayat yang dikenal banyak orang. Dikenal lantaran surat-suratnya yang mampu menggerakkan hati setiap pembacanya. Surat-surat itu ia tulis sejak 25 Mei 1899 sampai dengan 7 September 1904. Surat terakhir ia tulis tepat sepuluh hari sebelum ia meninggal. Gaya, ungkapan, serta ketajaman surat-surat itu mencerminkan kecerdasan dan pribadinya yang tanggap terhadap soal-soal kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya. Kartini tampil sebagai pribadi yang gelisah, yang bertanya. Sekalipun dalam ciri-ciri aristokrasinya yang lembut dan penuh etiket kesopanan, tak pelak Kartini adalah sebuah protes, bahkan ia meneriakkan tuntutan-tuntutan yang keras dan sarkastis. Suaranya bergaung menembus ruang dan waktu yang luas dan panjang. Bahkan ia pada akhirnya telah menjadi bagian dari sejarah sebuah bangsa.1
Surat-surat Kartini memang telah menjadi bukti sejarah tentang kemelut yang terjadi di sebuah masyarakat yang sedang mengalami perubahan mendasar. Dalam kehidupan Kartini, perubahan zaman itu menampakkan diri dalam bentuk pergulatan batin yang tandas. la bukan hanya mewakili cita-cita akan perubahan, akan tetapi juga kiblat. Yakni kiblat baru yang ditandai oleh masuknya pengaruh pendidikan Barat ke benak sumsum masyarakat Jawa tradisional pada masa tu. Kartini sekaligus juga mewakili wajah sebuah masyarakat yang enggan berubah, yang hendak mempertahankan milik berupa pusaka lama yang bernama adat. Terjadilah kecamuk pertentangan, tarik-menarik, konflik dan pergulatan batin. Dilema-dilema pelik bertabur di hadapan Kartini. Kekuatan-kekuatan besar, kepentingan-kepentingan kaum feodal dan kolonial, bertarung saling berebut pengaruh, saling tabrak dan kadang muncul pula dalam topeng-topeng tipu muslihat dan siasat. Kartini tepat berada di tengah kemelut itu. Ia harus menentukan sikap.
Dalam surat-suratnya yang membentang pada jarak waktu selama kurang lebih lima tahun, dapatlah ditelusuri pengalaman Kartini, pergulatannya selaku anak sebuah zaman yang sedang berubah. Kartini sendiri bukanlah pemenang dalam persengketaan dan perlawanan tersebut. Ia tidak keluar di sana selaku "pahlawan" yang dengan gegap gempita memaklumkan keunggulannya atas lawan-lawannya yang bernama penjajahan, penindasan, kekolotan, kebodohan, dan keserakahan. Dan sebenarnya ia tidak hanya berhadapan dengan kebodohan bangsanya, akan tetapi juga kebodohan pihak kolonial Barat yang hendak menghalangi perubahan-perubahan yang sedang terjadi di tengah bangsanya.
Tulisan ini mengangkat permasalahan-permasalan apa sajakah yang dihadapi Kartini pada zamannya, berdasarkan surat-surat Kartini kepada rekan-rekan korespondensinya di negeri Belanda.
**
Kartini, sebagai anak penguasa tertinggi di wilayah Jepara, tidak mengalami persoalan apa-apa dan akan merasa hidup sangat berbahagia di rumah besar kabupaten seandainya ia tidak berkenalan dengan gagasan-gagasan yang dibawa masuk oleh pendidikan model Barat ke tengah-tengah kehidupannya. Nasib telah membawanya ke arah lain. Bakat, kecerdasan, serta kepekaannya turut menyeretnya kepada pilihan-pilihan yang amat sulit ketika ia semakin lama semakin menyelami kebudayaan Barat serta nilai-nilai baru yang amat ia kagumi. Agaknya basis pendidikan yang rendah tersebut cukup bagi Kartini untuk mengembangkannya sendiri. Khususnya berbekal penguasaan Belanda serta kekuatan intelektualnya, ia mampu menyerap dan merumuskan persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsanya. Kartini, dalam keterbatasannya sebagai makluk perempuan di dalam gedung kabupaten, mampu melayangkan pandangan dan cita-citanya ke dunia modern di Barat. Ia menjelajahi pikiran-pikiran dunia maju dengan jalan korespondensi. Dalam terbitan kumpulan surat-surat Kartini yang disusun oleh Abendanon, terdapat sepuluh alamat dan lebih separo adalah perempuan. Beruntung bahwa Niewenhuijs dalam artikelnya tentang Kartini secara luas menyebut teman-teman korespondensinya, meskipun surat-surat tersebut sudah tidak dapat ditemukan lagi. Ada kemungkinan jumlah sahabat korespondensi Kartini lebih banyak lagi, mengingat dalam surat-suratnya yang sudah terbit Kartini menyebut sejumlah nama atau tema tertentu yang berhubuftgan dengan nama-nama tersebut, misalnya Snouck Hurgronje.
Sahabat pena Kartini bukanlah orang sembarangan. Mereka pada umumnya memiliki pendidikan serta kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat pada masa itu. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan Kartini yang hanya lulusan sekolah dasar, dan lagi usianya masih sangat muda. Dalam surat-suratnya Kartini tampak mampu mengimbangi gagasan-gagasan mereka. Ia menyerap, mengolah, serta merumuskan sendiri pikiran-pikiran tersebut sampai menjadi milik Kartini sendiri. Dengan cara itu Kartini telah menjadi bagian dalam percaturan ide-ide .
Barat modern. Dengan kemauan dan kemampuannya berbahasa Belanda, yang merupakan bahasa terpenting untuk memahami khasanah kebudayaan barat di Hindia Belanda saat itu, ia sangat mengetahui apa yang sedang terjadi berikut segala persoalan yang sedang berkembang sehubungan dengan relasi antara negeri Belanda dan tanah jajahannya, Hindia Belancla. Dengan demikian Kartini banyak mengerti tentang aliran baru yang mulai muncul dan menjadi lebih banyak pendukungnya di kalangan swasta maupun amtenar Belanda yang terkenal dengan nama " aliran Etis".
Di pihak lain, secara mengagumkan pula Kartini, dengan caranya sendiri berhasil mengetahui keadaan rakyatnya, khususnya di Jawa. Dalam surat-suratnya ia kerap menceritakan keadaan masyarakat pribumi, khususnya di sekitar Kabupaten Jepara. Ia merumuskan persoalan-persoalan rakyat yang diketahuinya, kedaan hidup mereka, kepercayaan mereka, serta hambatan-hambatan yang mereka hadapi. Salah satu pokok yang dapat dibicarakan dan diinformasikannya secara tepat adalah mengenai kehidupan keluarganya selaku priyayi tinggi di Jawa, yang masih sangat terkungkung oleh banyak tata cara dan adat istiadat, yang pada akhirnya, tidak bisa tidak, ditentangnya dengan keras.
Dalam ruang lingkup pergaulan, pengalaman, serta wawasan yang diperoleh Kartini di tengah lingkungan tersebut di atas, maka ia dengan jelas dapat merumuskan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dalam surat-suratnya, sedikitnya terkandung tiga hal yang selalu muncul dan menjadi pokok perhatiannya. Pertama, soal emansipasi wanita, khususnya melawan adat serta ajaran feodal yang memelihara praktek poligami. Kedua masalah pendidikan di kalangan rakyat Jawa. Dan ketiga adalah buruknya kehidupan rakyat yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab, khususnya menyangkut kondisi kesehatan mereka.
Persoalan Poligami
Poligami, yang memungkinkan seorang laki-laki secara sah bisa memiliki istri lebih dari seorang, merupakan salah satu hasil penilaian tertentu mengenai hubungan antara laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam lembaga perkawinan. Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa, tempat Kartini hidup, praktek poligami merupakan hal yang biasa. Kebiasaan dan adat-istiadat yang hidup di kalangan masyarakat- khususnya di kalangan priyayi Jawa yang berkedudukan tinggi, memang menempatkan kedudukan perempuan memang tidak sama dengan kedudukan kaum laki-laki. Perempuan tidak sepantasnya mengerjakan hal-hal yang dikerjakan oleh laki-laki. Kedudukan yang dianggap cocok untuk perempuan adalah sebagai pemelihara kedudukan rumah tangga. Seorang lelaki Jawa dididik secara terpisah dan memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dan lebih bebas. Dalam rangka itu maka lelaki Jawa melihat seorang perempuan Jawa tidak bisa lebih daripada melihatnya dalam hubungan sebuah keluarga, atau keluarga-keluarga dengan seorang lelaki sebagai kepalanya; tepatnya dalam hubungan perkawinan. Perempuan hanya berharga apabila dihubungkan dengan soal perkawinan. Dan perkawinan itu sendiri seringkali merupakan puncak kesengsaraan kaum perempuan, karena meskipun menjadi istri sah dari suaminya, ia bukan satu-satunya istri, melainkan salah satu istri drsamping istri-istri yang lain. Kartini melihat kenyataan yang timpang dan tidak adil ini dengan kegeraman.
"...saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu...yang menganggap egoisme lelaki semacam ini sebagai sesuatu yang sah dan adil".2
Kartini mengemukakan persoalan poligami sebagai pemberontakan. Ia mengetahui bahwa adat-istiadat semacam ini, apabila diberi toleransi, akan memperanakkan jenis ketidakadilan yang lain, seperti kawin paksa, batasan yang menyakitkan hati tentang hak perceraian, perkawinan anak-anak di bawah umur, dan penghormatan martabat seorang perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kartini tidak membesar-besarkan soal poligami ini, ia tidak berkhayal. Ia sendiri dalam keluarganya, mengalami kepedihan yang diakibatkan oleh musuh besarnya yang utama itu.
Ibu kandung Kartini bukan raden ayu, dan sekalipun ia istri sah dari Bupati Sosroningrat, Ibu Kartini tidak berhak untuk tinggal di rumah utama kabupaten. Ngasirah melahirkan delapan orang anak, lima di antaranya adalah lelaki. Raden Ayu memiliki tiga orang anak perempuan. Sekalipun Kartini tidak pernah mengungkapkan secara terbuka penderitaan yang dialami oleh ibu kandungnya, dapat dibayangkan betapa perasaannya melihat keanehan kehidupan di kabupaten. Ngasirah tetap dalam martabatnya selaku perempuan, tetap harus merangkak-rangkak dan menunduk-nunduk karena ia berasal dari kalangan jelata. Sedangkan anak-anaknya, karena mereka merupakan benih dari seorang bangsawan, dihormati selaku para bangsawan. Dengan demikian Ngasirah tidak dianggap sebagai seorang Ibu, melainkan hanya seperti seorang pembantu, atau sekedar seorang yang telah melahirkan. Kartini dengan pedih menulis:
"... saya telah melihat neraka darijarak dekat-malahan saya berada di dalamnya-,.. .saya telah menyaksikan penderitaan, dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya sendiri... karena saya adalahanaknya." (F.G.P. Jaquet; 2987, tidak terbit di DDTL oleh Abendanon).3
Pengalaman lain tentang poligami terjadi pada adiknya sendiri Kardinah. Kardinah menikah dengan patih dari Pemalang, yang sudah beristri dan mempunyai enam orang anak. Perkawinan itu dilakukan dengan paksaan kedua orang tuanya. Kartini sendiri dengan semangat menyala-nyala menuliskan pendapatnya tentang perkawinan dan poligami. Dalam salah satu suratnya kepada sahabatnya, Stella, ia menulis:
"..Saya tidak akan, sekali-kali tidak akan jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, menurut hemat saya, pertama-tama harus ada rasa hormat. Dan saya tidak bisa menghormati seorang pemuda Jawa. Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila sudah bosan kepada ibu dan anak-anaknya, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara syah..."4
Kepada alamat lain, yaitu Ny. Abendanon-Mandri, Kartini juga melancarkan serangannya yang sengit ke arah poligami dengan menyuarakan protesnya:
"...Bukankah hal itu merupakan perkosaan terhadap kodrat alam, apabila perempuan harus tinggal dengan damai serumah dengan madunya? Sesungguhnyalah, anak bangsa ini sendiri, kaum perempuan hams mendengarkan suaranya. Masih akan adakah orang yang dengan tenang mengatakan bahwa "keadaan mereka melihat dan mengetahui yang telah karni lihat sendiri? Saya pernah mengutip sesuatu pidato Prof. Max Muller, seorang ahli bahasa-bahasa Timur yang ulung dari Jerman, yang juga ahli sejarah dan lain-lain. Bunyinya kurang lebih: Poligami seperti yang dijalankan bangsa-bangsa Timur adalah suatu kebajikan bagi kaum perempuan dan gadis-gadis yang di dalam negerinya tidak dapat hidup tanpa suami atau pelindung. Max Muller sudah tiada, kami tidak dapat memanggilnya kemari untuk memperlihatkan adat itu kepadanya. Orang berusaha membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan juga dosa besar...".5
Perlawanan Kartini terhadap praktek poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah selalu hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat bengis dan kuat, yang didukung oleh adapt istiadat, bahkan juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ada pada masa itu. Sudah sewajarnya apabila Kartini juga merasa was-was dan takut.
"... Saya putus asa, dengan rasa pedih-perih saya punter-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang - aduh alangkah, kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan: korbannya aduh! saya pikir saya mungkin pada suatu ketika mungkin nasib menimpakan kepada saya suatu siksaan yang kejam, yang bernama poligami itu! Saya tidak mau! Mulutku menjerit hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali...".
Dugaan Katini tidak luput. Tiga tahun kemudian ia harus menikah dengan seorang yang bukan pilihannya sendiri. Lagi pula laki-laki itu memiliki tiga istri dan tujuh orang anak. Anak yang tertua hanya berbeda delapan tahun dengan Kartini. Pernikahan dengan Bupati Rembang, Djojoadiningrat, tak dapat dielakkan dan itu berlangsung pada 8 November 1903. Mengenai pertunangannya, Kartini merasakan itu sebagai kehinaan yang memalukan. Mahkota di kepalanya telah direnggut dan jatuh berantakan di pasir. Kebanggaan dan kebesaran dirinya telah sirna. Kartini merasa bahwa dirinya kini hanyalah salah seorang dari ribuan korban perempuan Jawa yang hendak ditolongnya. Malah ia telah menambah jumlah bilangan korban tersebut. Perlawanan Kartini menemui jalan buntu, bahkan menelan korban baru, dirinya sendiri.
Rintihan Kartini yang bernada tragis disuratkan juga kepada Ny. Abendanon, kurang lebih sebulan sebelum hari pernikahan. Ia merasa telah mati dengan sia-sia. Secara fisik, moral telah patah, tak memiliki apa-apa lagi. Ia merasa gagal dalam perjuangannya, tak satupun hasil, yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita telah runtuh oleh oleh egoisme orang-orang. Sayap-sayap telah putus, hatinya pecah berkeping-keping. Ia harus mengangkat sendiri beban penderitaan beban penderitaan itu, dan ia merasa tidak mampu menanggungnya.
Sesudah pernikahan, ia segera diboyong ke Rembang, dan menjadi raden ayu di kabupaten. Kartini tidak memberontak lagi, tidak menjeritkan kegelisahananya terhadap nasib perempuan Jawa. Surat-surat yang ditulisnya dari Rembang bukan lagi surat-surat protes tentang kedudukan perempuan, dan bukan tentang soal poligami. Tampaknya ia berusaha damai dengan keadaannya yang baru. Tanpa protes Kartini memang tidak berhak lagi mengeluhkan keputusan yang telah diambilnya meskipun dengan berat dan terpaksa, surat-surat Kartini pada periode Rembang adalah surat yang menyatakan kebahagiannya di tengah suami, ketiga istri selir, dan tujuh anak-anaknya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Kebahagiaan itu dengan sendirinya berhenti, ketika pada 17 September 1904 ia meninggal, empat hari setelah ia melahirkan anak laki-lakinya.
Pendidikan Rakyat dan Emansipasi Wanita
Minat kartini pada soal pendidikan di kalangan masyarakat luas amatlah besar. Ia menyadari keterbelakangan mereka. Massa rakyat yang berjumlah jutaan orang tersebut masih berada dalam kegelapan dan kebodohan. Keterbelakangan ini amat mempengaruhi kesejahteraan hidup rakyat, karena mereka tidak tahu bagaimana mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi, seperti soal pangan, kesehatan, mengatur ekonomi rumah tangga, ataupun mendidik anak. Kartini bercita-cita memperbaharui masyarakat yang kolot, yang tidak punya daya hidup lagi. Ia ingin membuat perubahan. Dalam suratnya yang panjang kepada Estella Zeehandellar pada Januari 1900, Kartini banyak membicarakan keadaan rakyat yang menyedihkan yang disebabkan oleh suasana kolonial, khususnya para pejabatnya. Kartini merasa bahwa pemerintah kolonial setengah hati menolong memajukan rakyat. Kartini mengutip pandangan ayahnya yang tertuang dalam sebuah nota untuk pemerintah yang menyatakan bahwa salah satu kunci untuk memecahkan persoalan rakyat di tanah Jawa adalah dengan mendidik mereka.
Pemerintah tidak mungkin bisa menyediakan nasi di piring bagi setiap orang untuk mereka makan, tetapi yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan daya upaya agar rakyat sanggup mencapai tempat di mana makanan itu tersedia. Daya upaya itu adalah pendidikan. Pemberian pendidikan kepada anak negeri berarti bahwa pemerintah memberikan suluh ke tangan mereka, agar selanjutnya ia sendiri menemukan jalan yang semestinya menuju tempat di mana nasi itu terdapat.
Selanjutnya terdapat kecanggungan pemerintah melakukan pendidikan rakyat, Kartini mengemukakan kritiknya yang pedas:
"...hak adalah hak dan adil adalah adil. Maklumlah, dalam hal kemajuan dan peradaban, kami ingin sama dengan orang Eropa. Hak yang kami tuntut untuk diri kami sendiri, harus kami berikan pula kepada orang lain yang memintanya kepada kami. Merintangi kemajuan rakyat kiranya sama halnya dengan perbuatan Tsar, yang mengkotbahkan perdamaian dunia, sedang ia sendiri menginjak-injak hak rakyat dengan kakinya".6
Dan selanjutnya:
"Oh, sekarang saya paham, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengatahuan, ia tidak akan lagi mengiyakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan kepada mereka oleh atasan mereka".
Dalam soal pendidikan kepada rakyat, khususnya yang memberikan perhatian besar kepada peran kaum perempuan, Kartini banyak memperoleh ide yang segar dari Direktur Urusan Pengajaran dan Kerajinan, J.H. Abendanon, salah seorang dari kalangan etisi yang menaruh perhatian pada usaha memajukan rakyat pribumi. Kartini mengutip sebuah surat edaran Abendanon yang ditujukan kepada kepala-kepala pemerintahan daerah mengenai pendirian sekolah untuk anak-anak perempuan bumiputra.
Dari masa ke masa menjadi semakin jelas bahwa kemajuan para perempuan merupakan faktor yang penting untuk untuk membudayakan bangsa itu. Kecerdasan penduduk bumiputera tidak akan terjadi secara cepat bila perempuan adalah pendukung peradaban.
Uraian Kartini mengenai persoalan ini bertaburan hampir dalam setiap suratnya, dan ia mengemukakan dengan penuh semangat serta optimisme yang tinggi. Pikiran Kartini mengenai permasalahan pendidikan paling jelas dan sistematik tampak dalam sebuah nota yang ditulisnya dengan judul "Berikanlah Pendidikan Kepada Orangjawa". Naskah itu ditulis oleh Kartini di Jepara pada Januari 1903. Di samping itu juga anaskah lain yang ditulis oleh Kartini dan Rukmini, adiknya (dari ibu lain), yang juga merupakan nota pada lampiran surat permohonan pada pemerintah tertanggal 19 April 1903. Gagasan Kartini tentang pendidikan banyak dibentuk dan didasari pemikiran-pemikiran Abendanon. Dialah orang Belanda pertama dengan jabatan tinggi yang dengan sungguh hati mencari jalan agar kaum wanita benar-benar memperoleh pendidikan.
Keadaan Rakyat di Mata Kartini
Dalam hal pendidikan, emansipasi wanita, dan pemikiran sehubungan dengan Kartini menyandarkan diri pada informasi serta wawasan sahabat-sahabat penanya dari Belanda. Namun menyangkut persoalan rakyatnya, Kartini memperoleh informasi dari lingkungannya sendiri terutama dari ayah dan saudara-saudaranya, serta atas inisiatifnya sendiri menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Penuturannya tentang keadaan rakyat yang ia ketahui bahkan seolah-olah merupakan kritik yang dialamatkan kepada teman-teman Belandanya itu. Sekalipun kebanyakan waktunya dia habiskan di kamarnya untuk membaca, merenung dan menulis, Kartini sering juga keluar dari tembok kabupaten. Dengan pengamatannya yang tajam ia mampu merumuskan persoalan masyarakat di sekitarnya. Ia sering pula mengikuti ayahnya melakukan kunjungan ke desa-desa di wilayah kekuasaannya. Atas inisiatifnya sendiri pula ia mengamati kehidupan para pembatik dari dekat. Juga Ia bisa banyak bercerita tentang industri kayu yang terkenal di daerah Jepara. Kartini tahu dengan tepat harga serta pendapatan yang diperoleh oleh perajin tersebut. Selain itu ia juga sangat memberi perhatian pada berita-berita hangat tentang keadaan rakyat melalui koran yang dibacanya.
Dalam hubungan ini tepatlah apabila pertama-tama disebut tentang persoalan candu. Kebiasaan menghisap candu ini sudah lama menjadi penyakit masyarakat yang menghabiskan daya hidup rakyat Jawa. Bencana ini telah dialami oleh rakyat secara menyeluruh sebagai kutuk mengerikan. Kriminalitas dan serta keruntuhan hidup rumah tangga selalu merupakan akibat yang disuguhkan oleh candu. Candu adalah musuh besar masyarakat tetapi soalnya adalah perdagangan candu justru dilindungi oleh pemerintah. Tulis Kartini sengit:
"Persoalan ini tetap mengharu biru dalam bayangan Kartini sebagai laknat besar. Kira-kira lima setengah tahun kemudian, di Rembang ia menulis lagi tentang usaha suaminya, Bupati Djojoadiningrat, untuk mengakhiri kebiasaan buruk rakyat tersebut. Namun usaha tersebut mendapat jawaban dari seorang anggota Dewari Hindia, bahwa pemerintah memang membutuhkan uang. Tengoklah! Tulis Kartini, jadi bukannya rakyat yang tidak mau berhenti menghisap candu, tetapi pemerintah. Pahit tetapi benar, kutuk terhadap orang Jawa adalah sesuatu kekuatan hidup bagi pemerintah".
Soal lain yang menjadi keprihatinan Kartini adalah pajak. Sebagai orang yang memikirkan rakyatnya, Kartini tidak dapat melepaskan satu soal yang sudah sejak zaman Tanam Paksa amat memberati rakyat, yaitu soal pajak. Ia juga mengatakan bahwa zaman tatkala para penguasa pribumi memeras rakyatnya sebagaimana dikumandangkan dengan nyaring oleh Multatuli telah lewat. Kartini kini amat meresahkan beban pajak yang ditaruh dipundak rakyat oleh pemerintah. Ayahnya seorang penguasa pribumi, tidak seperti yang digambarkan Multatuli. Kartini mengakui bahwa kritik amat keras yang dilancarkan oleh buku Max Havelaar terhadap para penguasa pribumi ada benarnya. Tetapi secara khusus menyangkut ayahnya, ia menyangkal keras bahwa ayahnya menindas rakyat.
Dengan permainan kata yang halus dan lucu, Kartini berusaha menjelaskan bahwa yang menyebabkan wabah penyakit dan bencana kelaparan serta kesengsaraan rakyat adalah regen (bahasa Belanda, yang artinya hujan). Saat itu hampir seluruh Jawa memang mengalami bencana alam beruntun, kalau bukan musim kering yang berkepanjangan, hujan kelewat banyak, sehingga panen selalu gagal. Jadi kesengsaraan disebabkan oleh regen (hujan), dan bukan oleh regent (bahasa Belanda, artinya bupati), yang oleh Multatuli digambarkan sebagai penghisap dan penindas rakyat. Kartini sering bercerita tentang ayahnya yang bekerjan keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia juga memberi gambaran tentang pamannya, Bupati Demak, sebagai seorang pemuka masyarakat yang sungguh-sungguh memedulikan rakyatnya. Namun, Kartini juga tidak menutup mata terhadap praktek buruk pejabat yang masih suka menerima upeti-upeti serta pungutan pada rakyat. la menilai hal itu sebagi hal yang sangat memalukan. Bupati Jepara ini dengan sekuat tenaga bekerja untuk rakyat, tetapi.., pemerintah memang membebani rakyat dengan berbagai pajak yang sangat berat. Sebagai ilustrasi Kartini memberi contoh kecil tetapi menyakitkan:
"...Apa sebab orang Jawa menjadi miskin? Pemotong rumput yang setiap hari penghasilannya hanya 10 atau 12 sen terkena pajak pencaharian. Untuk tiap ekor kambing atau domba yang disembelih, hams membayar pajak 20 sen. Demikianlah penjual sate yang tiap hari menyembelih dua ekor kambing hams membayar pajak setiap tahun 144 gulden. Lalu berapakah penghasilan mereka? Hanya cukup untuk hidup...".7
Persoalan ketiga yang amat banyak memperoleh perhatian Kartini menyangkut wabah penyakit dan soal kelaparan di kalangan penduduk. Pada paro kedua abad 19 dalam siklus kira-kira sepuluh tahun, pulau Jawa selalu dihinggapi serangan epidemi yang selalu memakan korban jiwa puluhan ribu. Penyakit rakyat menular ke mana-mana, seperti tuberkolosis, kolera, beri-beri, cacing, malaria, pes, dan lain-lain yang begitu berjangkit sukar untuk dibendung. Hal itu memperlihatkan betapa buruknya kondisi kehidupan rakyat baik di wilayah pedesaan maupun di kota. Juga pelayanan kesehatan rakyat yang amat jelek, ditambah lagi kebodohan rakyat yang tidak mengerti bagaimana menanggulangi wabah tersebut. Ditambah lagi dengan bencana alam, musim kering yang telalu panjang, atau banjir yang tak tertahan yang menyebabkan gagalnya panen dan bencana kelaparan. Pada tahun 1901 dan 1902 seluruh Pulau Jawa memang secara serentak dijangkiti oleh penyakit dan juga bahaya kelaparan.
Dalam suratnya tanggal 10 Agustus 1901 kepada Dr. Adriani, Kartini bercerita tentang wabah kolera yang berjangkit di Semarang dan juga kota-kota besar lainnya, seperti Batavia dan Surabaya. Dalam surat yang sama ia menulis tentang bencana kelaparan di Purwadadi. Pada bulan Oktober tahun yang sama, ia menulis kepada Stella Zeehandelaar tentang kegagalan padi di derah Purwadadi dan Demak. Sekitar 26.000 bau sawah tidak bisa mengeluarkan biji. Bencana ini meniupkan pula kutuk kolera. Dalam suratnya tanggal 26 Mei, ia juga menceritakan wabah kolera yang memakan korban 200 jiwa dalam seminggu. Wabah ini menyerang kota Pemalang di mana adiknya, Kardinah, tinggal. Dan akhirnya pada tanggal 17 Januari 1903 ia menyurat kepada Ny. Van Kol, memberitahukan kesengsaraan rakyat Jepara yang tertimpa musim kering yang ganas dan panjang. Sawah-sawah menjadi padang berwarna coklat, dan bencana yang menyakitkan itu tampak membayang: kelaparan.
Bencana tersebut masih ditambah dengan bencana khusus untuk wanita, yaitu kematian ibu sewaktu melahirkan. Ia menulis dengan pedih: setiap tahun di Pulau Jawa dan seluruh Hindia Belanda rata-rata 20.000 wanita mati karena rnelahirkan, dan 30.000 anak lahir meninggal karena pertolongan bidan yang tidak sempurna. Semua gambaran yang diberikan Kartini, yang sering dengan amat mengharukan dan kadang-kadang amat tajam diungkapkan, menunjukkan betapa "gelap-nya" kehidupan rakyat Jawa saat itu. Mereka secara fisik dan mental amat terbelakang. Secara sosial amat terbelenggu oleh adat yang buruk serta kebiasaan yang merusak, dan selain itu dibebani pajak berat oleh pemerintah. Kondisi fisik lingkungan, serta kesehatan amat menyedihkan sehingga selalu menjadi bulan-bulanan siklus epidemi yang memakan korban ribuan jiwa.
***
Pergulatan Kartini bisa dimengerti dengan baik manakala seluruh pergulatan batinnya diletakkan dalam konteks sebuah proses besar perubahan masyarakat di Indonesia pada pergantian abad ke-19 dan abad ke-20. Perubahan itu khususnya terjadi ketika masyarakat semakin disadarkan kepada upaya untuk memikirkan masa depan yang lebih baik, ketika mereka mulai semakin mengerti makna kata "kemajuan" yang disebarluaskan pada oleh pemerintah kolonial saat itu. Cita-cita tantang kemajuan itu disebarluaskan oleh pemerintah kolonial menjalankan program "politik etis". Pendidikan Barat mulai diperkenalkan secara sistematis di kalangan penduduk bumiputra melalui para bangsawan dan pegawai pemerintah. Pendidikan semacam inilah yang bagaikan virus merasuki seluruh bagian masyarakat, menyebabkan demam dan menganggu kehidupan masyarakat sehari-hari. Cita-cita untuk mengubah masyarakat semakin meningkat dan meluas di segenap lapisan.
Dalam proses tersebut, Kartini bisa dibilang sebagai personifikasi dari proses perubahan tersebut. Karena seluruh hidupnya ia curahkan kepada upaya mengajak semua orang untuk terlibat dalam gerakan memperkenalkan gagasan-gagasan baru tentang emansipasi, kebebasan, dan kemandirian, sebelum pada akhirnya harus mengakui bahwa dirinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan tantangan yang terlalu besar.
Sumber
- Th. Sumartana, Tuhan dan Agama Dalam Pergulatan Batin Kartini, hlm. 1.
- Surat Kartini yang melukiskan hubungan yang memilukan antara laki-laki dan perempuan Jawa antara lain dpat dibaca dalam suratnya kepada Stella Zehandelar tanggal 17 Mei 1902.
- F.G.P. Jaquet; 1987, tidak terbit di DDTL oleh Abendanon.
- Surat tertanggal 6 November 1989 kepada Stella Zehandelaar … dalam Armin Pane, 1992.
- Surat tanggal 27 Maret 1902 kepada Ny. Abendanon Mandri … dalam DDTL.
- Surat tertanggal 9 Januari 1901 kepada Stella Zeehandelaar … dalam DDTL
- Surat Kartini tertanggal 10 Agustus kepada Ny. Abendanon Mandri pada periods Rembang, sejak perkawinannya tanggal 8 November 1903, Kartini tidak banyak lagi bercerita tentang cita-citanya mengenai pendidikan dan emansipasi wanita. Disitu tampak bahwa Kartini Kalah dan gagal, Namun pada masa itu dengan nada sengit ia banyak bicara soal keadaan rakyat yang miskin dan sulit, karena pajak dan pengaruh candu dari pemerintah kolonial.