Rabu, 14 April 2010 ·

LATAR BELAKANG BERDIRINYA BENTENG VREDEBURG

Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam perjalanan sejarah dalam merintis, mencapai, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting sebagai tonggak-tonggak sejarah terjadi di kota ini.

Sejak awal berdirinya kota Yogyakarta telah tampil ke pentas sejarah semangat juang para pemimpin-pemimpinya. Dimulai dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang menyerang Batavia tahun 1628 dan 1629, dilanjutkan oleh Pangeran Mangkubumi yang bertempur melawan VOC yang kemudian diakhiri dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang juga perlawanan pangeran Diponegoro dan peristiwa-peristiwa lainnya. Semua itu talah menjadi goresan tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolas Hartingh, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en Directeur van Java noordkust) sejak bulan Maret 1754.

Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. sedang Kasunanan Surakarta diperintahkan oleh Paku Buwono III.

Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka Hutan Beringan di mana di tempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada jaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri.

Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantikan dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata”Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tenteram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “Kota yang aman dan tenteram”.

Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh, Sri Sultan Hamengku Buwono I, adalah juga seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta permata dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 selama satu tahu. Meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di asaat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala “Dwi Naga Rasa Tunggal” Dalam tahun Jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.

Setelah kraton mulai ditempati kemudian berdiri pula bangunan-bangunan lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1546. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1751 dan 1763. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikian kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi “kekuatan” yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan ijin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan.

Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jaya (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara)

Pada awal berdirinya bahwa benteng tesebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuatdengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bamboo dan kayu dengan atap ilalang.

Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H Ossenbrech menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanent agar lebih menjamin keamanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan bentengm sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi untuk pembangunan kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti “Benteng Peristirahatan”.

Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian:. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.

Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagan yang disebut “seleka” atau “bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistic, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rummah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.





0 komentar:

Museum Benteng Vredeburg

Foto saya
Jl. Jenderal Ahmad Yani 6 Yogyakarta 55121 Telp. (0274) 586934, Fax. (0274) 510996 e-mail : vrede_burg@yahoo.co.id

Museum Perjuangan

Pengikut

 
Salam Sahabat Museum, Yuk Ke MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA, Kita Semarakkan Tahun Kunjung Museum, AYO KE MUSEUM......