BENTENG VREDEBURG DARI MASA KE MASA: SEBUAH MODEL PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN BENTENG

Minggu, 28 November 2010 · 0 komentar

Oleh: Dra. Sri Ediningsih, M. Hum

A. Sejarah dan Status Tanah Benteng Vredeburg


Menurut data dari Pusat Data Arsitekrut Indonesia tercatat ada kurang lebih 300-an peninggalan benteng di Indonesia. Dari sejumlah itu hanya 5 persen yang kondisinya terawat, slah satu diantaranya adalah Benteng Vredeburg Yogyakarta. Oleh karena itu kita bias belajar dari pelestarian dan pengelolaan Benteng Vredeburg untuk dijadikan referensi, minimal belajar segala kekurangan dan kelebihannya untuk diambil manfaatnya. Tulisan ini akan melihat Benteng Vredeburg Yogyakarta dari 3 aspek yaitu sejarah dan status tanah Benteng Vredeburg sejak dibangun sampai saat ini, fungsi masing-masing bangunan Benteng Vredeburg, serta pemanfaatan Benteng Vredeburg sebagai museum.

Pendirian Benteng Vredeburg Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari lahirnya Kesultanan Yogyakarta, Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 yang berhasil menyelesaikan perselisihan antara Susuhunan Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono 1) adalah merupakan hasil politik Belanda yang selalu ingin turut campur urusan dalam negeri Raja-Raja Jawa waktu itu. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya perjanjian Giyanti adalah Nicolaas Harting (Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa/Gouvernur en Directeur Java’s noordkust).

Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan HB 1 adalah segera membangun kraton dengan membuka hutan Beringan. Sri Sultan HB 1 mengumumkan bahwa wilayah kekuasaannya diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat(Ngayogyakarta Hadiningrat). Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Bareingan yang pada jaman almarhum Sri Susuhunan Amngkurat Jawi(Amngkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Didalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartsura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan “Karta”, kata “a” berarti tidan dan “yuda”berarti perang. Jadi “ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “Kota yang aman dan tentram”.

Disamping sebagai seorang penglima perang yang tangguh, Sri Sultan HB I juga seorang ahli bangungan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta pertama dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan kraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 meski kraton belum sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempati. Peresmian ditandai dengan candra sangkala”Dwi Naga Rasa Tunggal”. Dalam tahun Jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.

Setelah kraton mulai ditempati kemudian berdiri pula bangunan-bangunan pendukung lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Didalamnya terdapat beberapa beangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibagun tahun 1`756. Bangunan Sitihinggil dan pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1761 dan 176. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikianlah kratin Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.

Meneliti kemajuan yang sangat pesat dari Kraton Yogyakarta, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulia muncul. Belanda mengusulkan kepada sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng didekat kraton dengan dalih untuk menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap kejalan utama menuju kraton menjadi indikasibahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blockade. Dapat dikatakn bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusihi Belanda.

Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang, pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat penjagaan yang disebut seleka tau bastion. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jayawisesa (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprkosaningprang (sudut barat daya), Jayaprayitna (sudut tenggara).

Menurut penuturan Nicolaas Hartingh seorang Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa di Semarang, bahwa benteng tersebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuat dengan tian-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan didalamnya terdiri atas bambu dan kayu dengan atap ilalang.

Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H Osseberch menggantikan kedudukan Nicolaas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen agar lebih menjamin keamanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan akan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebutSultan yang beredia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan benteng, sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi unutk pembangunan kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi naam Rustenburg yang berarti “Benteng Peristirahatan”.

Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobihkan beberapa bangunan besar termasuk Benteng. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan dibeberapa bagian yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian”. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.

Di Benteng Vredeburg terapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistic, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah residen. Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlingungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karan kantor residen berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.

Sejalan dengan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia, terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan. Benteng Vredeburg. Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan sebelum kemerdekaan sebagai berikut :

  1. Tahun 1760 – 1765

Pada awal pembangunannya tahun 176 status tanah merupakan milik kesultanan, tetapi dalam penggunaannya dihibahkan kepada Bleanda (VOC) dibawah pengawasan Nicolaas Hartingh, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jwa.

  1. Tahun 1765 – 1788

Secara yuridis formal status tanah tetap milik kesultanan tetapi secara de facto penguasaan benteng dan tanahnya dipegang oleh Belanda. Usul Gubernur W.H Van Osseberch (Pengganti Nicolaas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan Benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.

  1. Tahun 1788 – 1799

Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kesultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat digunakannya Benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC).

  1. Tahun 1799 – 1808

Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kesultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataafsche Republik (Pemerintah Belanda) dibawah Gubernur VanDenBurg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.

  1. Tahun 1808 – 1811

Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oelh Koninflik Holland. Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kesultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda dibawah Gubernur Daendels.

  1. Tahun 1811 – 1816

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia tahun 1811 – 1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris dibawah Gubernur Jendral Rafles. Mengambil alih, secara yuridis formal benteng tetap milik kesultanan.

  1. Tahun 1816 – 1942

Status tanah benteng tetap milik kesultanan, tatapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda, maka pihak kesultanan tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942.

  1. Tahun 1942 – 1945

Seiring dengan pergantian penjajahan dari Belanda ke Jepang maka secara de facto Benteng Vredeburg dikuasai oleh Jepang. Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga dipusatkan di Benteng Vredeburg, tentara jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pilihan yang terkenal keras dan kejam. Selain itu Benteng Vrdeburg digunakan sebagai tempat tahanan bagi tawanan tentara Jepang.


Setelah proklamasi kemerdekaan, secara kronologis perkembangan status tanah dan pemanfaatan Benteng Vredeburg sejak proklamasi kemerdekaan (1945) sampai dengan dimanfaatkan sebagai museum khusus sejarah perjuangan adalah sebagai berikut :

  1. Tahun 1945 – 1977

Status tanah benteng masih tetap milik kesultanan Yogyakarta, Penguasaan Benteng diambil alih instansi militer RI. Selain itu Benteng Vredeburgdimanfaatkan sebagai sekolah militer Akademi dan Markas KSAD Kol. Djatikusumo. Tahun 1946 pernah dipakai untuk menahan tokoh yang terlibat peristiwa 3 Juli 1946 (HR Darsono, Moh Yamin dan Tan Malaka) sewaktu agresi militer II benteng sempat dikuasai Belanda. Namun dengan SU 1 Maret 1949 TNI berhasil menguasai Benteng Vredeburg kembali walau tidak lama kemudian berhasil dikuasai kembali oleh Belanda sampai 7 Mei 1949.

  1. Tahun 1977 -1980

Penguasaan dan pengelolaan benteng diserahkan dari pihak HANKAM kepada Pemerintah Dareah Yogyakarta. Benteng dimanfaatkan sebgai pusat pengembangan Budaya Nusantara dibawah pimpinan Ki Suratman. Periode ini Benteng Vredeburg pernah digunakan sebagai ajang Jambore dan latihan Dodiklat POLRI. Juga pernah digunakan sebagai markas Garnizun 072 serta markas TNI AD Batalyon 403.

  1. Tahun 1980 – 1992

Tanggal 9 agustus 1980 dadakan penandatanganan piagam perjanjian tentang pemanfaatan Benteng Vredeburg oleh Sri Sultan HB IX dan Mendikbud Dr. Daoed Joesof. Setahun berikutnya Benteng Vredeburg diterapkan sebagai bangunan cagar budaya. Kemudian dikuatkan dengan Mendikbud Prof. Dr. Nugroho Notosusanto tanggal 5 November 1984. Bahwa bekas Benteng Vredeburg aka difungsikan sesuai dengan kebutuhannya. Selanjutnya pada tahun 1987 museum diresmikan Presiden Soeharto dandapt dikunjungi oleh Umum.

  1. Tahun 1992 – sampai sekarang

Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai museum melalui SK Mendikbud RI Prof. Dr Fuad Hasan nomor 0475/O/1992 tertanggal 23 November 1992 dengan nama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

B. Pemanfaatan Bangunan di Komplek Benteng Vredeburg


Adapun pemanfaatan bangunan di komplek Benteng Vredeburg sejak dari awal pembangunan sampai dengan saat ini adalah :
  1. Jembatan dan Parit

Periode 1765 – 1830 benteng dikelilingi parit, jembatan terpasang disebelah barat, timur dan selatan. Setelah 1830, Sebgai sarana berfungsi sebagai saluran pembuangan. Tahun 1898 parit sebelah utara benteng ditutup. sejalan dengan kemajuan teknologi terutama peralatan perang, maka jembatan angkat diganti jembatan biasa. Pada periode 1945 – 1977 parit sudah ,ulai kering dan selanjutnya seluruh parit yang ada ditutup.

  1. Pintu Gerbang Utama

Pintu gerbang utama barat terdiri dari dua lantai. Pada periode 1765 – 1830, lantai atas digunakan sebagai kantor komando. Sedangkan lantai bawah baik disisi kanan maupun kiri jalan masuk merupakan ruang juga. Saat ini ruangna atas dimanfaatkan sebagai ruang Rapat. Sedangkan ruangan bawah tetap sebagai Ruang Jaga (Satpam) dan ruang tiket.

  1. Pintu Gerbang Timur

Fungsi pintu gerbang timur dari periode 1765 – 1830 dan tahun-tahun berikutnya sama dengan pintu gerbang utama barat. Lantai bawah merupakan ruang jaga. Sedangkan lantai atas semual dipergunakan sebagai pos pengawasan daerah di sekitar benteng baik ke dalam maupun keluar. Saat ini pintu gerbang timur pemanfaatannya belum maksimal. Namun dalam pengembangan ke depan, Pintu Gerbang Timur akan dimanfaatkan sebagai pintu masuk dari arah timur sebagai kawasan 3 in 1, yaitu Taman Pintar, Taman Budaya dan Museum Benteng.

  1. Gedung Pengapit Utara

Berfungsi sebagai Kantor administrasi, berdasarkan hasil penelitian bentuk asli, bangunan yang ada merupakan bentuk asli, bangunan yang ada merupakan bentuk yang asli dengan ornament-ornamen gaya Yunani masa Renaisance/ hal itu menunjukkan usianya yang relative lebih tua disbanding dengan bangunan yang lain. Gaya atap yang lancip, menunjukkan gaya Eropa dengan maksud mengurangi beban salju di musim salju. Ini menunjukkan bahwa arsitektur untuk bangunan ini masih murni gaya Eropa.

  1. Gedung Pengapit Selatan

Fungsi telah mengalami perkembangan dilihat dari bentuknya memungkinkan dimanfaatkan sebagai kantor administrasi. Nmaun ketika benteng terdapat tawaran yang berderajat tinggi (tawaran kraton yang berpangkat tinggi) maka ruangan ini dimanfaatkan sebagai sel tahanan khusus. Juga ada kemungkinan ruangan ini dipergunakan sebagai ruang tamu VIP. Hal ini terlihat dari bentuk dan performance ruangan. Sekarang difungsikan sebagai Ruang Tamu VIP.

  1. Barak Prajurit Barat

Terdiri dari dua lantai. Lantai bawah terdiri satu ruang luas dan empat ruang kecil. Dua ruang kecil di selatan di lantai bawah diperkirakan merupakan fasilitas barak bagian bawah karean posisinya menyatu dengan ruang lantai bawah. Sedangkan dua ruang kecil di utara diperkirakan sebagai ruang pengawasan perwira juga, karena ruang-ruang tersebut terpisah dengan barak. Pemanfaatan sekarang sebagai Ruang Pengenalan Museum.

  1. Barak Prajurit Utara

Bangunan ini digunakan sebagai barak prajurit yang telah bekerluarga baik di lantai bawah maupun lantai atas. Sekarang Rang Diorama Sejarah Perjuangan bangsa yang berisi peristiwa sejarah perjuangan sekitar Proklamasi Perjuangan Kemerdekaan. Sedangkan lantai atas dimanfaatkan sebagai ruang pameran tidak tetap.

  1. Bangunan Fasilitas Umum

Berdasarkan data bahwa didalam benteng pernah dibangun rumah sakit, maka bangunan ini diperkirakan sebagai rumah sakit. Karena benteng dikuasai oleh TNI bangunan ini dimanfaatkan sebagai mushola. Sekarang bangunan lantai bawah dimanfaatkan sebagai ruang kerja Teknis. Lantai atas difungsikan sebagai Ruang Seminar dan Rang Bioskop khusus film Sejarah Perjuangan.

  1. Societet Militaire

Bangunan ini adalah Bangunan yang difungsikan sebgai ruang pertemuan. Hal ini diperkuat dengan adanya dat bahwa tahun 1838 di benteng ada societe militaire yang lokasinya di timur laut. Sekarang bangunan ini dimanfaatkan sebagai Ruang Diskusi/Ceramah/Seminar di lantai atas, dan Ruang Diorama Sejarah Perjuangan di Lantai bawah.

  1. Pavilion

Bangunan ini berfungsi sebagai tempat tinggal perwira atau pavilion (guet house). Hal ini sangat memungkinkan dengan adanya fasilitas-fasilitas pelengkapnya seperti dapur, kamar mandi dan WC. Sewaktu di bawah kekuasaan TNI bangunan ini dimanfaatkan sebagai tempat tinggal prajurit maupun perwira. Pada saat itu difungsikan sebagai Guest House seperti semula.

  1. Gudang Mesiu

Bentuk Bangunan dengan adanya peninggian-peninggian lantai dan tanpa jendela tetapi hanya ventilasi saja, menuatkan dugaan bahwa fungsi bangunan ini adalah sebagai gudang mesiu. Fungsi ini tetap bertahan dari tahun ketahun meskupun benteng mengalami pergantian penguasa. Pada saat ini dipergunakan sebgai Storage Museum.

  1. Dapur Umum

Bangunan ini relative baru. Dalam peta tahun 1937 belum muncul, sehingga diperkirakan bangunan dibangun setelah tahun tersebut bersamaan dengan bangunan kembarannya yaitu bangunan dapur selatan. Pada masa benteng dikuasi TNI banguna dapur ini dimanfaatkan sebagai rumah tinggal prajurit. Pada saat ini dimanfaatkan sebagai ruang storage Museum.

  1. Sel / Ruang Tahanan

Bangunan ini dibangun sesudah tahun 1830 dengan menempel pada anjungansebelah barat. Adanya peninggian lantai sewaktu ditemukanpada bangunan ini diduga merupakan tempat tidur. Kemungkinan juga dimanfaatkan sebagai gudang. Pada saat ini dipergunakan sebgai fasilitas ibadah di museum yaitu Mushola putra dan putrid.

  1. Perumahan Perwira Utara

Semula mempunyai fungsi sebgai tempat tinggal perwira. Dengan adanya perubahan bentuk teras depan menjadi ruang depan, maka diperkirakan bangunan ini telah mengalami perubahan fungsi yaitu sebgai kantor administrai. Kemudian ketika benteng digunakan oleh TNI tempat ini digunakan sebgai tempat tinggal prajurit yang telah bekeluarga. Sekarang bangunan ini merupakan tata pameran tetap Ruang Diorama II.

  1. Perumahan Perwira Selatan 1

Bangunan ini mempunyai susunan ruang yang terdiri dari teras depan, bangunan utama, dan teras belakang, diperkirakan berfungsi sebgai perumahan perwira. Dengan adanya perubahan teras depan menjadi ruang depan, diperkirakan bangunan ini mulai dipergunakan sebagai perumahan prajurit atau perwira yang telah bekeluarga, bukan unutk perwira saja. Hal ini diperkirakan terjadi ketika benteng digunakan oleh TNI. Sekarang difungsikan sebagai ruang Diorama 1.

  1. Gudang Senjata Ringan & Barak Prajurit.

Banguna ini semula difungsikan sebgai barak prajurit dilantai atas dan sebgai tempat penyimpanan senjata Ringan dilantaibawah. Hal ini dikuatkan dengan letaknya yang berdekatan dengan bangunan (N2) yang berfungsi sebgai gudang senjaa berat. Disamping itu juga berdekatan dengan gudang mesiu. Saati in meruppakan Ruang Konservasi, fumigasi dan laboratorium di lantai bawah dan ruang dokumentasi dilantai atas.

  1. Gudang Senjata Berat

Bangunan ini berfungsi sebai gudang senjata. Sedangkan keberadaan ruang-ruang yang berdekatan diperkirakan mempunyai fungsi yang berkaitan dengan keberadaan gudang senjata ini, antara lain untuk perkantoran bagain admisnitrasi gudang, perawatan senjata, dll. Saat ini dipergunkan sebagai Kantor Konservasi.

  1. Anjungan

Semula anjungan dibangun mengelilingi benteng bagain dalam sebagai sarana pertahanan. Di anjungan ini ditempatkan prajurit dengan senjata tangan dan meriam yang dikonsentrasikan pada sudut anjungan. Tahun 1830, anjungan di sudut di timur laut dibongkar dan dibangun gedung societet. Tahun 1898 anjungan utara dibongkar dan dibuat terowongan untuk megakses unit service baru di utara benteng. Selanjutnya anjungan tidak punya arti strategi militer dan difungsikan sebagai sarana rekreasi dan kebun sayur. Pada saat ini anjungan dimanfaatkan sebagai sarana untuk melihat kawasan nol kota Jogja dan sekelilingnya.

C. Pemanfaatan Benteng Vredeburg sebagai Museum

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya Museum Benteng Vredeburgmempunyai visi terwujudnya pengembanan dan pemanfaatn museum yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, memperkokoh identitas dan jati diri, integrasi nasional dan ketahanan budaya. Adapun misi yang diemban adalah mewujudkan peran museum sebagai sarana edukasi, pariwisata, pusat informasi dan pengembangan ilmu pengetahuan melalui kegiatan pelestarian, penyajian dan pengembangan sejarah dan budaya denan nuansa edutainment.

Visi dan misi museum secara keseluruhan dijabarkan dalam berbagai kegiatan rutin yang terbagi menjadi tiga bagian kegiatan sebagai berikut :
  1. Pelestarian sejarah dan budaya melalui berbgai kegiatan seperti perawatan dan pemeliharaan benteng sebagai cagar budaya, konservasi, fumigasi, dan restorasi benda-benda sejarah Perjuangan. Perawatan dan pemeliharaan benteng sebgai cagar budaya dilakukan secara bersama-sama dengan Balai Pelestraian Peninggalan Purbakala. Sedangkan kegiatan konservasi, fumigasi, dan restorasi terhadap benda-benda koleksi sejarah Perjuangan dilakukan secaraintern oleh petugas pemeliharaan dan perawatan museum. Adapun koleksi benda-benda sejarah perjuangan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta terdiri dari benda-benda realia, replica, foto, lukisan dan koleksi lainnya yang berjumlah kurang lebih 7.000 buah. Seluruh benda koleksi museum disimpan diruang pameran tetap maupun storage museum sesuai dengan standar International Council of Museum.

  2. Penyajian sejarah dan budaya melalui berbagai kegiatan seperti pameran tetap dan temporer, penydiaan film-film sejarah perjuangan, perpustakaan sejarah serta penerbitan buku dan bulletin. Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta memiliki 5 ruang pameran tetap yang terdiri dari 4 Ruang Diorama dan Ruang Realia. Ruang pameran tetap berisi koleksi benda sejarah yang memvisualisasikan peristiwa sejarah perjuangan bangsa, terutana perjuangan dari Yogyakarta sejak kedatangan bangsa barat ke Indonesia sampai dengan saat ini. Selain itu pengunjung juga bisa menikmati sajian film-film sejarah perjuangan di Runga Bioskop Sejarah Perjuangan. Museum juga dilengkapi denan perpustakaan yang berisi buku-buku sejarah dan budaya. Saran pembelajaran sejarah bagi anak-anak sekolah juga disediakan melalui CD interaktif.

  3. Pengembangan sejarah dan budaya melalui kegiatan penelitian dan pengkajian sejarah perjuangan, festival, lomba, ceramah, diskusi, loka karya, workshop, pentas seni, baik diselenggarakan sendiri, kerjasama instansi terkait, maupun memfasilitasi masyarakat melalui saran dan prasarana museum. Pengkajian sejarah difokuskan pada sejarah perjuangan di Yogyakarta baik peristiwa berkaitan dengan koleksi tata pameran tetap museum. Festival, lomba, diskusi, pentas seni bernuansa sejarah juga rutin dilakukan sperti festival busana perjuangan, lomba lagu, teater, lukis dan mewarnai dengan nuangsa perjuangan, cerdas cermat permuseuman, kesejarahan dan kepurbakalaan, dan kemah budaya. Selain itu museum juga menyediakan saran dan prasarana bagi masyarakat untuk mengadakan pameran, lomba, festival, ceramah, diskusi dan kegiatan lain yang bernuansa budaya.

Kamis, 17 Juni 2010 · 0 komentar

PAMERAN BENTENG INDONESIA DI MUSEUM BENTENG VREDEBURG

Dalam rangka pendukungan penyebaran Informasi Kepurbakalaan Direktorat Peninggalan Purbakala bekerja sama dengan PDA (Pusat Dokumentasi Arsitektur), Museum Benteng Vredeburg dan PAC (Architects and Consultan Arcitektural Urban Heritage Project) mengadakan Pameran Benteng Indonesia yang diselenggarakan pertama kali di Yogyakarta dan akan diadakan di kota-kota lain seperti Ambon dan Makassar.

Tujuan diselenggarakanya Pameran Benteng Indonesia ini adalah untuk menginformasikan kepada masyarakat tentang sejarah benteng yang ada di Indonesia, agar supaya masyarakat peduli terhadap kekayaan budaya dan sejarah Indonesia.

Pameran Benteng Indonesia berlangsung pada tanggal 15 – 20 Juni 2010 di Benteng Vredeburg Yogyakarta. Yang mengusung tema Benteng “Dulu Kini dan Esok”, dan akan diselenggarakan di kota lain seperti Ambon dan Makassar.

Rabu, 14 April 2010 · 0 komentar

VISI DAN MISI

Visi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Visi sebuah lembaga atau instansi adalah target yang akan dicapai oleh lembaga atau institusi tersebut. Adapun visi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta adalah “Terwujudnya peran museum sebagai pelestari nilai sejarah dan kejuangan Rakyat Indonesia di Yogyakarta dalam mewujudkan NKRI”.

Misi Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta

Misi adalah rumusan-rumusan umum tentang upaya-upaya apa saja yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi. Adapun misi dari Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, antara lain :

1. Mewujudkan peran museum sebagai pelestari benda-benda peninggalan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di Yogyakarta

2. Mewujudkan peran museum sebagai sumber informasi sejarah perjuangan rakyat Indonesia di Yogyakarta

3. Mewujudkan peran museum sebagai media pendidikan non formal bagi pengembangan ilmu pengetahuan sejarah dengan nuansa edutainmen.

4. Mewujudkan museum sebagai wahana peningkatan apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam semangat juang rakyat Indonesia di Yogyakarta

· 0 komentar

LATAR BELAKANG BERDIRINYA BENTENG VREDEBURG

Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam perjalanan sejarah dalam merintis, mencapai, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Peristiwa-peristiwa penting sebagai tonggak-tonggak sejarah terjadi di kota ini.

Sejak awal berdirinya kota Yogyakarta telah tampil ke pentas sejarah semangat juang para pemimpin-pemimpinya. Dimulai dari Sultan Agung Hanyokrokusumo yang menyerang Batavia tahun 1628 dan 1629, dilanjutkan oleh Pangeran Mangkubumi yang bertempur melawan VOC yang kemudian diakhiri dengan Perjanjian Giyanti tahun 1755 yang juga perlawanan pangeran Diponegoro dan peristiwa-peristiwa lainnya. Semua itu talah menjadi goresan tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan Bangsa Indonesia.

Perjanjian yang berhasil dikeluarkan karena campur tangan VOC selalu mempunyai tujuan akhir memecah belah dan mengadu domba pihak-pihak yang bersangkutan. Demikian pula dengan perjanjian Giyanti. Orang Belanda yang berperan penting dalam lahirnya Perjanjian Giyanti tersebut adalah Nicolas Hartingh, yang menjabat Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa (Gouverneur en Directeur van Java noordkust) sejak bulan Maret 1754.

Pada hakekatnya perjanjian tersebut adalah perwujudan dari usaha untuk membelah Kerajaan Mataram menjadi dua bagian yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk selanjutnya Kasultanan Yogyakarta diperintah oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I. sedang Kasunanan Surakarta diperintahkan oleh Paku Buwono III.

Langkah pertama yang diambil oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah segera memerintahkan membangun kraton. Dengan titahnya Sultan segera memerintahkan membuka Hutan Beringan di mana di tempat tersebut sudah terdapat dusun Pacetokan. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengumumkan bahwa wilayah yang menjadi daerah kekuasaannya tersebut diberi nama Ngayogyakarta Adiningrat (Ngayogyakarta Hadiningrat) dengan ibukota Ngayogyakarta. Pemilihan nama ini dimaksudkan untuk menghormati tempat bersejarah yaitu Hutan Beringan yang pada jaman almarhum Sri Susuhunan Amangkurat Jawi (Amangkurat IV) merupakan kota kecil yang indah. Di dalamnya terdapat istana pesanggrahan yang terkenal dengan Garjitowati. Kemudian pada jaman Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta di Kartasura nama pesanggrahan itu diganti dengan Ngayogya. Pada masa itu dipergunakan sebagai tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri.

Hutan kecil ini mula-mula adalah tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono II dengan nama Pesanggrahan Garjitowati. Untuk selanjutnya beliau menggantikan dengan nama Ayogya (atau Ngayogya). Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata”Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tenteram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “Kota yang aman dan tenteram”.

Disamping sebagai seorang panglima perang yang tangguh, Sri Sultan Hamengku Buwono I, adalah juga seorang ahli bangunan yang hebat. Kraton Kasultanan Yogyakarta permata dibangun pada tanggal 9 Oktober 1755. Selama pembangunan keraton berlangsung, Sultan dan keluarga tinggal di Pesanggrahan Ambarketawang Gamping, kurang lebih selama satu tahun. Pada hari Kamis Pahing, tanggal 7 Oktober 1756 selama satu tahu. Meski belum selesai dengan sempurna, Sultan dan keluarga berkenan menempatinya. Peresmian di asaat raja dan keluarganya menempati kraton ditandai dengan candra sangkala “Dwi Naga Rasa Tunggal” Dalam tahun Jawa sama dengan 1682, tanggal 13 Jimakir yang bertepatan dengan tanggal 7 Oktober 1756.

Setelah kraton mulai ditempati kemudian berdiri pula bangunan-bangunan lainnya. Kraton dikelilingi tembok yang tebal. Di dalamnya terdapat beberapa bangunan dengan aneka rupa dan fungsi. Bangunan kediaman sultan dan kerabat dekatnya dinamakan Prabayeksa, selesai dibangun tahun 1546. Bangunan Sitihinggil dan Pagelaran selesai dibangun tahun 1757. Gapura penghubung Dana Pertapa dan Kemagangan selesai tahun 1751 dan 1763. Masjid Agung didirikan tahun 1771. Benteng besar yang mengelilingi kraton selesai tahun 1777. Bangsal Kencana selesai tahun 1792. Demikian kraton Yogyakarta berdiri dengan perkembangan yang senantiasa terjadi dari waktu ke waktu.

Melihat kemajuan yang sangat pesat akan kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Sehingga pihak Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diijinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Pembangunan tersebut dengan dalih agar Belanda dapat menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut maksud Belanda yang sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat dimanfaatkan sebagai benteng strategi, intimidasi, penyerangan dan blokade. Dapat dikatakan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan memalingkan muka memusuhi Belanda. Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi “kekuatan” yang sulit dilawan oleh setiap pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku Buwono I. Oleh karena itu permohonan ijin Belanda untuk membangun benteng dikabulkan.

Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta), pada tahun 1760 atas permintaan Belanda, Sultan HB I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh Sultan keempat sudut tersebut diberi nama Jaya (sudut barat laut), Jayapurusa (sudut timur laut), Jayaprakosaningprang (sudut barat daya) dan Jayaprayitna (sudut tenggara)

Pada awal berdirinya bahwa benteng tesebut keadaannya masih sangat sederhana. Tembok dari tanah yang diperkuatdengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bamboo dan kayu dengan atap ilalang.

Dalam perkembangan selanjutnya sewaktu W.H Ossenbrech menggantikan kedudukan Nicolas Hartingh, tahun 1765 mengusulkan kepada Sultan agar benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanent agar lebih menjamin keamanan. Usul tersebut dikabulkan, selanjutnya pembangunan benteng dikerjakan dibawah pengawasan seorang Belanda ahli ilmu bangunan yang bernama Ir. Frans Haak. Tahun 1767 pembangunan benteng dimulai. Menurut rencana pembangunan tersebut akan diselesaikan tahun itu juga. Akan tetapi dalam kenyataannya proses pembangunan tersebut berjalan sangat lambat dan baru selesai tahun 1787. Hal ini terjadi karena pada masa tersebut Sultan yang bersedia mengadakan bahan dan tenaga dalam pembangunan bentengm sedang disibukkan dengan pembangunan Kraton Yogyakarta, sehingga bahan dan tenaga yang dijanjikan lebih banyak teralokasi untuk pembangunan kraton. Setelah selesai bangunan benteng yang telah disempurnakan tersebut diberi nama Rustenburg yang berarti “Benteng Peristirahatan”.

Pada tahun 1867 di Yogyakarta terjadi gempa bumi yang dahsyat sehingga banyak merobohkan beberapa bangunan besar seperti Gedung Residen (yang dibangun tahun 1824), Tugu Pal Putih, dan Benteng Rustenburg serta bangunan-bangunan yang lain. Bangunan-bangunan tersebut segera dibangun kembali. Benteng Rustenburg segera diadakan pembenahan di beberapa bagian bangunan yang rusak. Setelah selesai bangunan benteng yang semula bernama Rustenburg diganti menjadi Vredeburg yang berarti “Benteng Perdamaian:. Nama ini diambil sebagai manifestasi hubungan antara Kasultanan Yogyakarta dengan pihak Belanda yang tidak saling menyerang waktu itu.

Bentuk benteng tetap seperti awal mula dibangun, yaitu bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun ruang penjagan yang disebut “seleka” atau “bastion”. Pintu gerbang benteng menghadap ke barat dengan dikelilingi oleh parit. Di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistic, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rummah residen. Di Benteng Vredeburg ditempati sekitar 500 orang prajurit, termasuk petugas medis dan para medis. Disamping itu pada masa pemerintahan Hindia Belanda digunakan sebagai tempat perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta. Hal itu sangat dimungkinkan karena kantor residen yang berada berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg.





· 0 komentar

BENTENG VREDEBURG PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Jatuhnya Singapura ke tangan Jepang, membuat kedudukan pulau Jawa sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda terancam. Ketika akan menyerang Indonesia, Jepang lebih dulu menguasai daerah-daerah penghasil minyak bumi di Kalimantan Timur seperti Tarakan, Pulau Bunyu dan Balikpapan. Penguasaan daerah tersebut sangat penting untuk mendukung kepentingan perang pasukan Jepang di kawasan Pasifik. Setelah Kalimantan, Jepang kemudian menyerang Sumatra yaitu Dumai, Pekanbaru dan Palembang. Terakhir baru Jepang menyerang Pulau Jawa dengan mendaratkan pasukannya di Banten, Indramayu dan Banyuwangi. Dalam waktu singkat berhasil menduduki tempat strategis di Pulau Jawa. Akhirnya pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, Jawa Barat. Maka sejak itulah Jepang berkuasa di Indonesia.

Masa pendudukan Jepang di Yogyakarta berlangsung sejak tanggal 6 Maret 1942. Mereka segera menempati gedung-gedung pemerintah semula ditempati pemerintah Belanda. Pendudukan tentara Jepang atas kota Yogyakarta berjalan sangat lancar tanpa ada perlawanan. Dengan semboyan Tiga A (A Light, A Leader, A Hider/ Nipon Cahaya Asia, Nipon Pemimpin Asia dan Nipon Pelindung Asia), mereka melakukan pawai dengan jalan kaki dan bersepeda bergerak menuju pusat kota Yogyakarta. Hal ini dilakukan untuk menarik simpati rakyat Yogyakarta.

Tanggal 7 Maret 1942, pemerintah Jepang memperlakukan UU nomor 1 tahun 1942 bahwa kedudukan pimpinan daerah tetap diakui tetapi berada di bawah pengawasan Kooti Zium Kyoku Tjokan (Gubernur Jepang) yang berkantor di Gedung Tjokan Kantai (Gedung Agung). Pusat kekuatan tentara Jepang disamping ditempatkan di Kotabaru juga dipusatkan di Benteng Vredeburg. Tentara Jepang yang bermarkas di Benteng Vredeburg adalah Kempeitei yaitu tentara pulihan yang terkenal keras dan kejam.

Di samping itu Benteng Vredeburg juga digunakan sebagai tempat penahanan bagi tawanan orang Belanda maupun Indo Belanda yang ditangkap. Juga kaum politisi Indonesia yang berhasil ditangkap karena mengadakan gerakan menentang Jepang.

Guna mencukupi kebutuhan senjata, tentara Jepang mendatangkan persenjataan dari Semarang. Sebelum dibagikan ke pos-pos yang memerlukan terlebih dahulu di simpan di Benteng Vredeburg. Gudang mesiu terletak di setiap sudut benteng kecuali di sudut timur laut. Hal itu dengan pertimbangan bahwa di kawasan tersebut keamanan lebih terjamin. Penempatan gudang mesiu di setiap sudut benteng dimaksudkan untuk mempermudah disaat terjadi perang secara mendadak.

Penguasaan Jepang atas Benteng Vredeburg berlangsung dari tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, ketika proklamasi telah berkumandang dan nasionalisasi bangunan-bangunan yang dikuasai Jepang mulai dilaksanakan. Selama itu meskipun secara de facto dikuasai oleh Jepang tetapi secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan.

Dari uraian itu dapat dikatakan bahwa pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) bangunan Benteng Vredeburg difungsikan sebagai markas tentara Kempeitei, gudang mesiu dan rumah tahanan bagi orang Belanda dan Indo Belanda serta kaum politisi RI yang menentang Jepang.

· 0 komentar

BENTENG VREDEBURG PADA MASA KEMERDEKAAN

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 telah berkumandang di Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita tersebut sampai ke Yogyakarta melalui Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta (sekarang Perpustakaan Daerah, Jl. Malioboro Yogyakarta). Kepala Kantor Berita Domei Cabang Yogyakarta waktu itu adalah orang Jepang. Sedangkan kepala bagian radio adalah Warsono, dengan dibantu oleh tenaga-tenaga lainnya, yaitu Soeparto, Soetjipto, Abdullah dan Umar Sanusi.

Pada siang hari itu, berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut dengan perasaan lega oleh seluruh rakyat Yogyakarta. Ditambah dengan keluarnya Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Pernyataan 5 September 1945) yang kemudian diikuti oleh Sri Paku Alam VIII yang berisi dukungan atas berdirinya Negara baru, Negara Republik Indonesia, maka semangat rakyat semakin berapi-api.

Sebagai akibatnya terjadi berbagai aksi spontan seperti pengibaran bendera Merah Putih, perampasan bangunan dan juga pelucutan senjata Jepang. Masih kuatnya pasukan Jepang yang berada di Yogyakarta, menyebabkan terjadinya kontak senjata seperti yang terjadi di Kotabaru Yogyakarta. Dalam aksi perampasan gedung ataupun fasilitas lain milik Jepang, Benteng Vredebug juga menjadi salah satu sasaran aksi.

Setelah Benteng dikuasai oleh pihak RI untuk selanjutnya penanganannya diserahkan kepada Instansi Militer yang kemudian dipergunakan sebagai asrama dan markas pasukan yang tergabung dalam pasukan dengan kode Staf “Q” di bawah Komandan Letnan Muda I Radio, yang bertugas mengurusi perbekalan militer. Sehingga tidak mustahil bila pada periode ini Benteng Vredeburg disamping difungsikan sebagai markas juga sebagai gudang perbekalan termasuk senjata, mesiu dll. Pada tahun 1946 di dalam komplek Benteng Vredeburg didirikan Rumah Sakit Tentara untuk melayani korban pertempuran. Namun dalam perkembangannya rumah sakit tersebut juga melayani tentara beserta keluarganya.

Ketika tahun 1946 kondisi politik Indonesia mengalami kerawanan disaat perbedaan peersepsi akan arti revolusi yang sedang terjadi, maka meletuslah peristiwa yang dikenal dengan “Peristiwa 3 Juli 1946”, yaitu percobaan Kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Mayor Soedarsono. Karena usaha tersebut gagal maka para tokoh yang terlibat dalam peristiwa tersebut seperti Mohammad Yamin, Tan Malaka dan Soedarsono ditangkap. Sebagai tahanan politik mereka pernah ditempatkan di Benteng Vredeburg.



· 0 komentar

BENTENG VREDEBURG PADA MASA PENDUDUKAN BELANDA

Sejalan dengan perkembangan politik yang terjadi di Indonesia dari waktu ke waktu, maka terjadi pula perubahan atas status kepemilikan dan fungsi bangunan Benteng Vredeburg. Secara kronologis perkembangan status tanah dan bangunan Benteng Vredeburg sejak awal dibangunnya (1760) sampai dengan runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda (1942) adalah sebagai berikut:

1. Tahun 1760-1765

Pada awal pembangunannya tahun 1760 status tanah merupakan milik kasultanan. Tetapi dalam penggunaannya dihibahkan Belanda (VOC) di bawah pengawasan Nicolas Hartingh, Gubernur dari Direktur Pantai Utara Jawa.

2. Tahun 1765-1788

Secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara defacto penguasaan benteng dari tanahnya dipegang oleh Belanda, usul gubernur W.H. Van Ossenberg (pengganti Nicolas Hartingh) agar bangunan benteng lebih disempurnakan, dilaksanakan pada tahun 1767. Periode ini merupakan periode penyempurnaan benteng yang lebih terarah pada satu bentuk benteng pertahanan.

3. Tahun 1788-1799

Pada periode ini status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, secara de facto dikuasai Belanda. Periode ini merupakan saat digunakannya benteng secara sempurna oleh Belanda (VOC). Bangkrutnya VOC tahun 1799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic (Pemerintah Belanda). Secara de facto menjadi milik pemerintah Kerajaan Belanda.

4. Tahun 1799-1807

Status tanah benteng secara yuridis formal tetap milik kasultanan, tetapi penggunaan benteng secara de facto menjadi milik Bataache Republik (Pemerintahan Belanda) di bawah Gubernur Van Den Burg. Benteng tetap difungsikan sebagai markas pertahanan.

5. Tahun 1807-1811

Pada periode ini benteng diambil alih pengelolaannya oleh Koninklijik Hollland .Maka secara yuridis formal status tanah tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto menjadi milik Pemerintah Kerajaan Belanda di bawah Gubernur Deandels.

6. Tahun 1811-1816

Ketika Inggris berkuasa di Indonesia 1811-1816, untuk sementara benteng dikuasai Inggris di bawah Gubernur Jenderal Rafles. Namun dalam waktu singkat Belanda dapat mengambil alih. Secara yuridis formal benteng tetap milik kasultanan.

7. Tahun 1816-1942

Status tanah benteng tetap milik kasultanan, tetapi secara de facto dipegang oleh pemerintah Belanda. Karena kuatnya pengaruh Belanda maka pihak kasultanan tidak berbuat banyak dalam mengatasi masalah penguasaan atas benteng. Sampai akhirnya benteng dikuasai bala Tentara Jepang tahun 1942 setelah Belanda menyerah kepada Jepang ditandai dengan Perjanjian Kalijaga bulan Maret 1842 di Jawa Barat.




· 0 komentar

BANGUNAN

Sesuai dengan awal bahwa benteng Vredeburg dibangun untuk dijadikan sebuah benteng pertahanan. Sehingga dalam perkembangannya pun bangunan-bangunan pedukung yang didirikan bertolak dari konsep sebagai pertahanan . Hal itu dapat dilihat dari beberapa bangunan yang masih dapat dijumpai sekarang , antara lain :

Selokan atau Parit

Parit atau selokan ini dibuat dengan maksud rintangan paling luar terhadap serangan musuh. Parit dibuat di sekeliling benteng dengan perhitungan bahwa musuh akan datang dari segala arah. Tetapi perkembangan selanjutnya, ketika sistem kemiliteran telah mengalami kemajuan, parit sebagai sarana pertahanan sudah tidak urgen lagi. Bahkan untuk tahun-tahun berikut parit hanya berfungsi sebagai sarana drainage (pembuangan) saja. Untuk memberikan kesan kepada masyarakat bahwa sekeliling benteng terdapat parit, sisa parit masih dapat dilihat dibawah jembatan depan gerbang sebelah barat .

Jembatan

Pada masa awal Benteng Vredeburg dibangun, antar daerah dalam benteng dengan luar benteng dihubungkan dengan jembatan (jembatan angkat ). Menurut rencana awal benteng dibangun dengan konsep simetris, sehingga dengan demikian jembatan yang dibuat berjumlah empat buah yaitu menghadap keempat penjuru (barat, selatan, timur, dan utara). Tetapi berdasarkan data yang ditemukan, bekas-bekas jembatan hanya dapat dijumpai utara tidak ditemukan. Hal ini dapat saja terjadi dalam proses pembangunan yang telah dibuat dalam konsep awal bangunan benteng, di sisi utara dipandang sudah aman sehingga untuk jembatan sebelah utara benteng dipandang sudah tidak perlu.

Untuk saat ini jembatan yang masih dapat dilihat adalah jembatan yang telah mengalami perkembangan kemudian. Hal itu terjadi seiring dengan perkembangan teknologi khususnya kendaraan perang. Sehingga jembatan yang tadinya berupa jembatan gantung, sudah tidak mungkin lagi mampu menopang kendaraan perang yang keluar masuk benteng.

Tembok (Benteng)

Lapisan pertahanan sesudah parit adalah tembok (benteng) yang mengelilingi komplek benteng Vrederburg. Di sisi tembok sebelah dalam juga dibuat anjungan, sehingga praktis tembok (benteng) ini dapat berfungsi sebagai tempat pertahanan, pengintaian, penempatan meriam-meriam kecil maupun senjata tangan. Dengan begitu jarak pandang pengintaian maupun jarak tembak akan lebih leluasa.

Saat sekarang sebagian anjungan (sebelah timur sebagian, sebelah barat dan sebelah selatan) masih dapat dilihat. Juga relung-relung di atas tembok (benteng) sebagai tempat meriam maupun senjata tangan lainnya. Pembongkaran anjungan ini diperkirakan karena perkembangan situasi dimana keamanan telah lebih terjamin, sehingga anjungan dipandang sudah tidak diperlukan lagi.

Pintu Gerbang Barat

Pintu gerbang sebagai sarana (jalan) keluar ataupun masuk komplek benteng. Mengingat konsep awal bahwa benteng dibangun dengan konsep simetris maka pintu gerbang yang ada berjumlah empat buah (selatan, timur, utara, dan barat ). Tetapi karena proses pembangunan benteng itu sendiri memakan waktu yang amat panjang, sehingga sangat dimungkinkan konsep awal tersebut berubah karena situasi keamanan yang mengharuskan pintu gerbang yaitu sebelah barat, timur dan selatan. Di sebelah selatan hanya dibuat kecil dan lebih tepat kalau disebut terowongan. Sehingga arus keluar masuk penghuni benteng melewati pintu gerbang barat dan timur saja.

Bangunan-Bangunan di Bagian Tengah

Di dalam komplek Benteng Vredeburg bangunan-bangunan yang ada berupa bangsal-bangsal. Semula bangsal-bangsal tersebut berfungsi sebagai barak para prajurit maupun perwira. Akan tetapi dalam perkembagan selanjutnya sejalan dengan perkembangan fungsi bangunan yang bukan lagi sebagai tempat pertahanan melainkan sebagai tangsi militer, bangunan tersebut lebih tepat disebut sebagai tempat tinggal. Hal itu dapat dilihat dari dibangunnya bangunan-bangunan baru.

Di antara bangunan-bangunan yang ada juga masih dapat terlihat adanya lapangan di dalam komplek Benteng Vredeburg yang relatif luas.

Semula lapangan tersebut dimungkinkan untuk tempat persiapan militer, latihan maupun upacara-upacara militer lainnya. Setelah Benteng Vredeburg fungsi sebagai tangsi militer yang dimungkinkan prajurit akan membawa keluarganya, maka lpagan tersebut beralih fungsi sebagai halaman dan tempat bermain saja.

Hal itu juga berlaku dengan anjungan di sisi selatan, barat dan timur sebagian. Yang semula dibangun sebagai sarana pendukung pertahanan untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi.





· 0 komentar

REALIA

Koleksi realia adalah koleksi yang berupa benda (Material) yang benar-benar nyata (riil) bukan tiruan dan berperan langsung dalam suatu proses terjadinya suatu sejarah yang mempunyai arti penting dalam pembinaan atau pengembangan sejarah , ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayan. Koleksi realia antara lain berupa peralatan rumah tangga, senjata, naskah, pakaian, peralatan dapur dll.

· 0 komentar

FOTO














Museum Benteng Vredeburg

Foto saya
Jl. Jenderal Ahmad Yani 6 Yogyakarta 55121 Telp. (0274) 586934, Fax. (0274) 510996 e-mail : vrede_burg@yahoo.co.id

Museum Perjuangan

Pengikut

 
Salam Sahabat Museum, Yuk Ke MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA, Kita Semarakkan Tahun Kunjung Museum, AYO KE MUSEUM......