RADEN AJENG KARTINI Permasalahan yang dihadapinya

Sabtu, 30 April 2011 · 0 komentar

*
Kartini tidak di karuniai Tuhan umur panjang. Lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada 17 September 1904. Tetapi umur yang pendek itu sempat menggoreskan riwayat yang dikenal banyak orang. Dikenal lantaran surat-suratnya yang mampu menggerakkan hati setiap pembacanya. Surat-surat itu ia tulis sejak 25 Mei 1899 sampai dengan 7 September 1904. Surat terakhir ia tulis tepat sepuluh hari sebelum ia meninggal. Gaya, ungkapan, serta ketajaman surat-surat itu mencerminkan kecerdasan dan pribadinya yang tanggap terhadap soal-soal kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya. Kartini tampil sebagai pribadi yang gelisah, yang bertanya. Sekalipun dalam ciri-ciri aristokrasinya yang lembut dan penuh etiket kesopanan, tak pelak Kartini adalah sebuah protes, bahkan ia meneriakkan tuntutan-tuntutan yang keras dan sarkastis. Suaranya bergaung menembus ruang dan waktu yang luas dan panjang. Bahkan ia pada akhirnya telah menjadi bagian dari sejarah sebuah bangsa.1
Surat-surat Kartini memang telah menjadi bukti sejarah tentang kemelut yang terjadi di sebuah masyarakat yang sedang mengalami perubahan mendasar. Dalam kehidupan Kartini, perubahan zaman itu menampakkan diri dalam bentuk pergulatan batin yang tandas. la bukan hanya mewakili cita-cita akan perubahan, akan tetapi juga kiblat. Yakni kiblat baru yang ditandai oleh masuknya pengaruh pendidikan Barat ke benak sumsum masyarakat Jawa tradisional pada masa tu. Kartini sekaligus juga mewakili wajah sebuah masyarakat yang enggan berubah, yang hendak mempertahankan milik berupa pusaka lama yang bernama adat. Terjadilah kecamuk pertentangan, tarik-menarik, konflik dan pergulatan batin. Dilema-dilema pelik bertabur di hadapan Kartini. Kekuatan-kekuatan besar, kepentingan-kepentingan kaum feodal dan kolonial, bertarung saling berebut pengaruh, saling tabrak dan kadang muncul pula dalam topeng-topeng tipu muslihat dan siasat. Kartini tepat berada di tengah kemelut itu. Ia harus menentukan sikap.

Dalam surat-suratnya yang membentang pada jarak waktu selama kurang lebih lima tahun, dapatlah ditelusuri pengalaman Kartini, pergulatannya selaku anak sebuah zaman yang sedang berubah. Kartini sendiri bukanlah pemenang dalam persengketaan dan perlawanan tersebut. Ia tidak keluar di sana selaku "pahlawan" yang dengan gegap gempita memaklumkan keunggulannya atas lawan-lawannya yang bernama penjajahan, penindasan, kekolotan, kebodohan, dan keserakahan. Dan sebenarnya ia tidak hanya berhadapan dengan kebodohan bangsanya, akan tetapi juga kebodohan pihak kolonial Barat yang hendak menghalangi perubahan-perubahan yang sedang terjadi di tengah bangsanya.

Tulisan ini mengangkat permasalahan-permasalan apa sajakah yang dihadapi Kartini pada zamannya, berdasarkan surat-surat Kartini kepada rekan-rekan korespondensinya di negeri Belanda.

**

Kartini, sebagai anak penguasa tertinggi di wilayah Jepara, tidak mengalami persoalan apa-apa dan akan merasa hidup sangat berbahagia di rumah besar kabupaten seandainya ia tidak berkenalan dengan gagasan-gagasan yang dibawa masuk oleh pendidikan model Barat ke tengah-tengah kehidupannya. Nasib telah membawanya ke arah lain. Bakat, kecerdasan, serta kepekaannya turut menyeretnya kepada pilihan-pilihan yang amat sulit ketika ia semakin lama semakin menyelami kebudayaan Barat serta nilai-nilai baru yang amat ia kagumi. Agaknya basis pendidikan yang rendah tersebut cukup bagi Kartini untuk mengembangkannya sendiri. Khususnya berbekal penguasaan Belanda serta kekuatan intelektualnya, ia mampu menyerap dan merumuskan persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsanya. Kartini, dalam keterbatasannya sebagai makluk perempuan di dalam gedung kabupaten, mampu melayangkan pandangan dan cita-citanya ke dunia modern di Barat. Ia menjelajahi pikiran-pikiran dunia maju dengan jalan korespondensi. Dalam terbitan kumpulan surat-surat Kartini yang disusun oleh Abendanon, terdapat sepuluh alamat dan lebih separo adalah perempuan. Beruntung bahwa Niewenhuijs dalam artikelnya tentang Kartini secara luas menyebut teman-teman korespondensinya, meskipun surat-surat tersebut sudah tidak dapat ditemukan lagi. Ada kemungkinan jumlah sahabat korespondensi Kartini lebih banyak lagi, mengingat dalam surat-suratnya yang sudah terbit Kartini menyebut sejumlah nama atau tema tertentu yang berhubuftgan dengan nama-nama tersebut, misalnya Snouck Hurgronje.

Sahabat pena Kartini bukanlah orang sembarangan. Mereka pada umumnya memiliki pendidikan serta kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat pada masa itu. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan Kartini yang hanya lulusan sekolah dasar, dan lagi usianya masih sangat muda. Dalam surat-suratnya Kartini tampak mampu mengimbangi gagasan-gagasan mereka. Ia menyerap, mengolah, serta merumuskan sendiri pikiran-pikiran tersebut sampai menjadi milik Kartini sendiri. Dengan cara itu Kartini telah menjadi bagian dalam percaturan ide-ide .

Barat modern. Dengan kemauan dan kemampuannya berbahasa Belanda, yang merupakan bahasa terpenting untuk memahami khasanah kebudayaan barat di Hindia Belanda saat itu, ia sangat mengetahui apa yang sedang terjadi berikut segala persoalan yang sedang berkembang sehubungan dengan relasi antara negeri Belanda dan tanah jajahannya, Hindia Belancla. Dengan demikian Kartini banyak mengerti tentang aliran baru yang mulai muncul dan menjadi lebih banyak pendukungnya di kalangan swasta maupun amtenar Belanda yang terkenal dengan nama " aliran Etis".

Di pihak lain, secara mengagumkan pula Kartini, dengan caranya sendiri berhasil mengetahui keadaan rakyatnya, khususnya di Jawa. Dalam surat-suratnya ia kerap menceritakan keadaan masyarakat pribumi, khususnya di sekitar Kabupaten Jepara. Ia merumuskan persoalan-persoalan rakyat yang diketahuinya, kedaan hidup mereka, kepercayaan mereka, serta hambatan-hambatan yang mereka hadapi. Salah satu pokok yang dapat dibicarakan dan diinformasikannya secara tepat adalah mengenai kehidupan keluarganya selaku priyayi tinggi di Jawa, yang masih sangat terkungkung oleh banyak tata cara dan adat istiadat, yang pada akhirnya, tidak bisa tidak, ditentangnya dengan keras.

Dalam ruang lingkup pergaulan, pengalaman, serta wawasan yang diperoleh Kartini di tengah lingkungan tersebut di atas, maka ia dengan jelas dapat merumuskan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Dalam surat-suratnya, sedikitnya terkandung tiga hal yang selalu muncul dan menjadi pokok perhatiannya. Pertama, soal emansipasi wanita, khususnya melawan adat serta ajaran feodal yang memelihara praktek poligami. Kedua masalah pendidikan di kalangan rakyat Jawa. Dan ketiga adalah buruknya kehidupan rakyat yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab, khususnya menyangkut kondisi kesehatan mereka.

Persoalan Poligami

Poligami, yang memungkinkan seorang laki-laki secara sah bisa memiliki istri lebih dari seorang, merupakan salah satu hasil penilaian tertentu mengenai hubungan antara laki-laki dengan perempuan, khususnya dalam lembaga perkawinan. Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa, tempat Kartini hidup, praktek poligami merupakan hal yang biasa. Kebiasaan dan adat-istiadat yang hidup di kalangan masyarakat- khususnya di kalangan priyayi Jawa yang berkedudukan tinggi, memang menempatkan kedudukan perempuan memang tidak sama dengan kedudukan kaum laki-laki. Perempuan tidak sepantasnya mengerjakan hal-hal yang dikerjakan oleh laki-laki. Kedudukan yang dianggap cocok untuk perempuan adalah sebagai pemelihara kedudukan rumah tangga. Seorang lelaki Jawa dididik secara terpisah dan memiliki kesempatan yang jauh lebih besar dan lebih bebas. Dalam rangka itu maka lelaki Jawa melihat seorang perempuan Jawa tidak bisa lebih daripada melihatnya dalam hubungan sebuah keluarga, atau keluarga-keluarga dengan seorang lelaki sebagai kepalanya; tepatnya dalam hubungan perkawinan. Perempuan hanya berharga apabila dihubungkan dengan soal perkawinan. Dan perkawinan itu sendiri seringkali merupakan puncak kesengsaraan kaum perempuan, karena meskipun menjadi istri sah dari suaminya, ia bukan satu-satunya istri, melainkan salah satu istri drsamping istri-istri yang lain. Kartini melihat kenyataan yang timpang dan tidak adil ini dengan kegeraman.

"...saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu...yang menganggap egoisme lelaki semacam ini sebagai sesuatu yang sah dan adil".2

Kartini mengemukakan persoalan poligami sebagai pemberontakan. Ia mengetahui bahwa adat-istiadat semacam ini, apabila diberi toleransi, akan memperanakkan jenis ketidakadilan yang lain, seperti kawin paksa, batasan yang menyakitkan hati tentang hak perceraian, perkawinan anak-anak di bawah umur, dan penghormatan martabat seorang perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Kartini tidak membesar-besarkan soal poligami ini, ia tidak berkhayal. Ia sendiri dalam keluarganya, mengalami kepedihan yang diakibatkan oleh musuh besarnya yang utama itu.

Ibu kandung Kartini bukan raden ayu, dan sekalipun ia istri sah dari Bupati Sosroningrat, Ibu Kartini tidak berhak untuk tinggal di rumah utama kabupaten. Ngasirah melahirkan delapan orang anak, lima di antaranya adalah lelaki. Raden Ayu memiliki tiga orang anak perempuan. Sekalipun Kartini tidak pernah mengungkapkan secara terbuka penderitaan yang dialami oleh ibu kandungnya, dapat dibayangkan betapa perasaannya melihat keanehan kehidupan di kabupaten. Ngasirah tetap dalam martabatnya selaku perempuan, tetap harus merangkak-rangkak dan menunduk-nunduk karena ia berasal dari kalangan jelata. Sedangkan anak-anaknya, karena mereka merupakan benih dari seorang bangsawan, dihormati selaku para bangsawan. Dengan demikian Ngasirah tidak dianggap sebagai seorang Ibu, melainkan hanya seperti seorang pembantu, atau sekedar seorang yang telah melahirkan. Kartini dengan pedih menulis:

"... saya telah melihat neraka darijarak dekat-malahan saya berada di dalamnya-,.. .saya telah menyaksikan penderitaan, dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya sendiri... karena saya adalahanaknya." (F.G.P. Jaquet; 2987, tidak terbit di DDTL oleh Abendanon).3

Pengalaman lain tentang poligami terjadi pada adiknya sendiri Kardinah. Kardinah menikah dengan patih dari Pemalang, yang sudah beristri dan mempunyai enam orang anak. Perkawinan itu dilakukan dengan paksaan kedua orang tuanya. Kartini sendiri dengan semangat menyala-nyala menuliskan pendapatnya tentang perkawinan dan poligami. Dalam salah satu suratnya kepada sahabatnya, Stella, ia menulis:

"..Saya tidak akan, sekali-kali tidak akan jatuh cinta. Karena mencintai seseorang, menurut hemat saya, pertama-tama harus ada rasa hormat. Dan saya tidak bisa menghormati seorang pemuda Jawa. Bagaimana saya bisa menghormati seseorang yang sudah kawin dan menjadi ayah, yang apabila sudah bosan kepada ibu dan anak-anaknya, dapat membawa perempuan lain ke rumah dan mengawininya secara syah..."4

Kepada alamat lain, yaitu Ny. Abendanon-Mandri, Kartini juga melancarkan serangannya yang sengit ke arah poligami dengan menyuarakan protesnya:

"...Bukankah hal itu merupakan perkosaan terhadap kodrat alam, apabila perempuan harus tinggal dengan damai serumah dengan madunya? Sesungguhnyalah, anak bangsa ini sendiri, kaum perempuan hams mendengarkan suaranya. Masih akan adakah orang yang dengan tenang mengatakan bahwa "keadaan mereka melihat dan mengetahui yang telah karni lihat sendiri? Saya pernah mengutip sesuatu pidato Prof. Max Muller, seorang ahli bahasa-bahasa Timur yang ulung dari Jerman, yang juga ahli sejarah dan lain-lain. Bunyinya kurang lebih: Poligami seperti yang dijalankan bangsa-bangsa Timur adalah suatu kebajikan bagi kaum perempuan dan gadis-gadis yang di dalam negerinya tidak dapat hidup tanpa suami atau pelindung. Max Muller sudah tiada, kami tidak dapat memanggilnya kemari untuk memperlihatkan adat itu kepadanya. Orang berusaha membohongi kami, bahwa tidak kawin itu bukan hanya aib, melainkan juga dosa besar...".5

Perlawanan Kartini terhadap praktek poligami di kalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia pada kesadaran bahwa ia sendiri sudah selalu hidup dalam bayang-bayang musuh besar yang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang sangat bengis dan kuat, yang didukung oleh adapt istiadat, bahkan juga dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama yang ada pada masa itu. Sudah sewajarnya apabila Kartini juga merasa was-was dan takut.

"... Saya putus asa, dengan rasa pedih-perih saya punter-puntir tangan saya jadi satu. Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu, dan yang - aduh alangkah, kejamnya! Dilindungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan: korbannya aduh! saya pikir saya mungkin pada suatu ketika mungkin nasib menimpakan kepada saya suatu siksaan yang kejam, yang bernama poligami itu! Saya tidak mau! Mulutku menjerit hatiku menggemakan jeritan itu ribuan kali...".

Dugaan Katini tidak luput. Tiga tahun kemudian ia harus menikah dengan seorang yang bukan pilihannya sendiri. Lagi pula laki-laki itu memiliki tiga istri dan tujuh orang anak. Anak yang tertua hanya berbeda delapan tahun dengan Kartini. Pernikahan dengan Bupati Rembang, Djojoadiningrat, tak dapat dielakkan dan itu berlangsung pada 8 November 1903. Mengenai pertunangannya, Kartini merasakan itu sebagai kehinaan yang memalukan. Mahkota di kepalanya telah direnggut dan jatuh berantakan di pasir. Kebanggaan dan kebesaran dirinya telah sirna. Kartini merasa bahwa dirinya kini hanyalah salah seorang dari ribuan korban perempuan Jawa yang hendak ditolongnya. Malah ia telah menambah jumlah bilangan korban tersebut. Perlawanan Kartini menemui jalan buntu, bahkan menelan korban baru, dirinya sendiri.

Rintihan Kartini yang bernada tragis disuratkan juga kepada Ny. Abendanon, kurang lebih sebulan sebelum hari pernikahan. Ia merasa telah mati dengan sia-sia. Secara fisik, moral telah patah, tak memiliki apa-apa lagi. Ia merasa gagal dalam perjuangannya, tak satupun hasil, yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita telah runtuh oleh oleh egoisme orang-orang. Sayap-sayap telah putus, hatinya pecah berkeping-keping. Ia harus mengangkat sendiri beban penderitaan beban penderitaan itu, dan ia merasa tidak mampu menanggungnya.

Sesudah pernikahan, ia segera diboyong ke Rembang, dan menjadi raden ayu di kabupaten. Kartini tidak memberontak lagi, tidak menjeritkan kegelisahananya terhadap nasib perempuan Jawa. Surat-surat yang ditulisnya dari Rembang bukan lagi surat-surat protes tentang kedudukan perempuan, dan bukan tentang soal poligami. Tampaknya ia berusaha damai dengan keadaannya yang baru. Tanpa protes Kartini memang tidak berhak lagi mengeluhkan keputusan yang telah diambilnya meskipun dengan berat dan terpaksa, surat-surat Kartini pada periode Rembang adalah surat yang menyatakan kebahagiannya di tengah suami, ketiga istri selir, dan tujuh anak-anaknya. Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Kebahagiaan itu dengan sendirinya berhenti, ketika pada 17 September 1904 ia meninggal, empat hari setelah ia melahirkan anak laki-lakinya.

Pendidikan Rakyat dan Emansipasi Wanita

Minat kartini pada soal pendidikan di kalangan masyarakat luas amatlah besar. Ia menyadari keterbelakangan mereka. Massa rakyat yang berjumlah jutaan orang tersebut masih berada dalam kegelapan dan kebodohan. Keterbelakangan ini amat mempengaruhi kesejahteraan hidup rakyat, karena mereka tidak tahu bagaimana mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi, seperti soal pangan, kesehatan, mengatur ekonomi rumah tangga, ataupun mendidik anak. Kartini bercita-cita memperbaharui masyarakat yang kolot, yang tidak punya daya hidup lagi. Ia ingin membuat perubahan. Dalam suratnya yang panjang kepada Estella Zeehandellar pada Januari 1900, Kartini banyak membicarakan keadaan rakyat yang menyedihkan yang disebabkan oleh suasana kolonial, khususnya para pejabatnya. Kartini merasa bahwa pemerintah kolonial setengah hati menolong memajukan rakyat. Kartini mengutip pandangan ayahnya yang tertuang dalam sebuah nota untuk pemerintah yang menyatakan bahwa salah satu kunci untuk memecahkan persoalan rakyat di tanah Jawa adalah dengan mendidik mereka.

Pemerintah tidak mungkin bisa menyediakan nasi di piring bagi setiap orang untuk mereka makan, tetapi yang bisa dilakukan pemerintah adalah memberikan daya upaya agar rakyat sanggup mencapai tempat di mana makanan itu tersedia. Daya upaya itu adalah pendidikan. Pemberian pendidikan kepada anak negeri berarti bahwa pemerintah memberikan suluh ke tangan mereka, agar selanjutnya ia sendiri menemukan jalan yang semestinya menuju tempat di mana nasi itu terdapat.

Selanjutnya terdapat kecanggungan pemerintah melakukan pendidikan rakyat, Kartini mengemukakan kritiknya yang pedas:

"...hak adalah hak dan adil adalah adil. Maklumlah, dalam hal kemajuan dan peradaban, kami ingin sama dengan orang Eropa. Hak yang kami tuntut untuk diri kami sendiri, harus kami berikan pula kepada orang lain yang memintanya kepada kami. Merintangi kemajuan rakyat kiranya sama halnya dengan perbuatan Tsar, yang mengkotbahkan perdamaian dunia, sedang ia sendiri menginjak-injak hak rakyat dengan kakinya".6

Dan selanjutnya:

"Oh, sekarang saya paham, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengatahuan, ia tidak akan lagi mengiyakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan kepada mereka oleh atasan mereka".

Dalam soal pendidikan kepada rakyat, khususnya yang memberikan perhatian besar kepada peran kaum perempuan, Kartini banyak memperoleh ide yang segar dari Direktur Urusan Pengajaran dan Kerajinan, J.H. Abendanon, salah seorang dari kalangan etisi yang menaruh perhatian pada usaha memajukan rakyat pribumi. Kartini mengutip sebuah surat edaran Abendanon yang ditujukan kepada kepala-kepala pemerintahan daerah mengenai pendirian sekolah untuk anak-anak perempuan bumiputra.

Dari masa ke masa menjadi semakin jelas bahwa kemajuan para perempuan merupakan faktor yang penting untuk untuk membudayakan bangsa itu. Kecerdasan penduduk bumiputera tidak akan terjadi secara cepat bila perempuan adalah pendukung peradaban.

Uraian Kartini mengenai persoalan ini bertaburan hampir dalam setiap suratnya, dan ia mengemukakan dengan penuh semangat serta optimisme yang tinggi. Pikiran Kartini mengenai permasalahan pendidikan paling jelas dan sistematik tampak dalam sebuah nota yang ditulisnya dengan judul "Berikanlah Pendidikan Kepada Orangjawa". Naskah itu ditulis oleh Kartini di Jepara pada Januari 1903. Di samping itu juga anaskah lain yang ditulis oleh Kartini dan Rukmini, adiknya (dari ibu lain), yang juga merupakan nota pada lampiran surat permohonan pada pemerintah tertanggal 19 April 1903. Gagasan Kartini tentang pendidikan banyak dibentuk dan didasari pemikiran-pemikiran Abendanon. Dialah orang Belanda pertama dengan jabatan tinggi yang dengan sungguh hati mencari jalan agar kaum wanita benar-benar memperoleh pendidikan.

Keadaan Rakyat di Mata Kartini

Dalam hal pendidikan, emansipasi wanita, dan pemikiran sehubungan dengan Kartini menyandarkan diri pada informasi serta wawasan sahabat-sahabat penanya dari Belanda. Namun menyangkut persoalan rakyatnya, Kartini memperoleh informasi dari lingkungannya sendiri terutama dari ayah dan saudara-saudaranya, serta atas inisiatifnya sendiri menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Penuturannya tentang keadaan rakyat yang ia ketahui bahkan seolah-olah merupakan kritik yang dialamatkan kepada teman-teman Belandanya itu. Sekalipun kebanyakan waktunya dia habiskan di kamarnya untuk membaca, merenung dan menulis, Kartini sering juga keluar dari tembok kabupaten. Dengan pengamatannya yang tajam ia mampu merumuskan persoalan masyarakat di sekitarnya. Ia sering pula mengikuti ayahnya melakukan kunjungan ke desa-desa di wilayah kekuasaannya. Atas inisiatifnya sendiri pula ia mengamati kehidupan para pembatik dari dekat. Juga Ia bisa banyak bercerita tentang industri kayu yang terkenal di daerah Jepara. Kartini tahu dengan tepat harga serta pendapatan yang diperoleh oleh perajin tersebut. Selain itu ia juga sangat memberi perhatian pada berita-berita hangat tentang keadaan rakyat melalui koran yang dibacanya.

Dalam hubungan ini tepatlah apabila pertama-tama disebut tentang persoalan candu. Kebiasaan menghisap candu ini sudah lama menjadi penyakit masyarakat yang menghabiskan daya hidup rakyat Jawa. Bencana ini telah dialami oleh rakyat secara menyeluruh sebagai kutuk mengerikan. Kriminalitas dan serta keruntuhan hidup rumah tangga selalu merupakan akibat yang disuguhkan oleh candu. Candu adalah musuh besar masyarakat tetapi soalnya adalah perdagangan candu justru dilindungi oleh pemerintah. Tulis Kartini sengit:

"Persoalan ini tetap mengharu biru dalam bayangan Kartini sebagai laknat besar. Kira-kira lima setengah tahun kemudian, di Rembang ia menulis lagi tentang usaha suaminya, Bupati Djojoadiningrat, untuk mengakhiri kebiasaan buruk rakyat tersebut. Namun usaha tersebut mendapat jawaban dari seorang anggota Dewari Hindia, bahwa pemerintah memang membutuhkan uang. Tengoklah! Tulis Kartini, jadi bukannya rakyat yang tidak mau berhenti menghisap candu, tetapi pemerintah. Pahit tetapi benar, kutuk terhadap orang Jawa adalah sesuatu kekuatan hidup bagi pemerintah".

Soal lain yang menjadi keprihatinan Kartini adalah pajak. Sebagai orang yang memikirkan rakyatnya, Kartini tidak dapat melepaskan satu soal yang sudah sejak zaman Tanam Paksa amat memberati rakyat, yaitu soal pajak. Ia juga mengatakan bahwa zaman tatkala para penguasa pribumi memeras rakyatnya sebagaimana dikumandangkan dengan nyaring oleh Multatuli telah lewat. Kartini kini amat meresahkan beban pajak yang ditaruh dipundak rakyat oleh pemerintah. Ayahnya seorang penguasa pribumi, tidak seperti yang digambarkan Multatuli. Kartini mengakui bahwa kritik amat keras yang dilancarkan oleh buku Max Havelaar terhadap para penguasa pribumi ada benarnya. Tetapi secara khusus menyangkut ayahnya, ia menyangkal keras bahwa ayahnya menindas rakyat.

Dengan permainan kata yang halus dan lucu, Kartini berusaha menjelaskan bahwa yang menyebabkan wabah penyakit dan bencana kelaparan serta kesengsaraan rakyat adalah regen (bahasa Belanda, yang artinya hujan). Saat itu hampir seluruh Jawa memang mengalami bencana alam beruntun, kalau bukan musim kering yang berkepanjangan, hujan kelewat banyak, sehingga panen selalu gagal. Jadi kesengsaraan disebabkan oleh regen (hujan), dan bukan oleh regent (bahasa Belanda, artinya bupati), yang oleh Multatuli digambarkan sebagai penghisap dan penindas rakyat. Kartini sering bercerita tentang ayahnya yang bekerjan keras untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ia juga memberi gambaran tentang pamannya, Bupati Demak, sebagai seorang pemuka masyarakat yang sungguh-sungguh memedulikan rakyatnya. Namun, Kartini juga tidak menutup mata terhadap praktek buruk pejabat yang masih suka menerima upeti-upeti serta pungutan pada rakyat. la menilai hal itu sebagi hal yang sangat memalukan. Bupati Jepara ini dengan sekuat tenaga bekerja untuk rakyat, tetapi.., pemerintah memang membebani rakyat dengan berbagai pajak yang sangat berat. Sebagai ilustrasi Kartini memberi contoh kecil tetapi menyakitkan:

"...Apa sebab orang Jawa menjadi miskin? Pemotong rumput yang setiap hari penghasilannya hanya 10 atau 12 sen terkena pajak pencaharian. Untuk tiap ekor kambing atau domba yang disembelih, hams membayar pajak 20 sen. Demikianlah penjual sate yang tiap hari menyembelih dua ekor kambing hams membayar pajak setiap tahun 144 gulden. Lalu berapakah penghasilan mereka? Hanya cukup untuk hidup...".7

Persoalan ketiga yang amat banyak memperoleh perhatian Kartini menyangkut wabah penyakit dan soal kelaparan di kalangan penduduk. Pada paro kedua abad 19 dalam siklus kira-kira sepuluh tahun, pulau Jawa selalu dihinggapi serangan epidemi yang selalu memakan korban jiwa puluhan ribu. Penyakit rakyat menular ke mana-mana, seperti tuberkolosis, kolera, beri-beri, cacing, malaria, pes, dan lain-lain yang begitu berjangkit sukar untuk dibendung. Hal itu memperlihatkan betapa buruknya kondisi kehidupan rakyat baik di wilayah pedesaan maupun di kota. Juga pelayanan kesehatan rakyat yang amat jelek, ditambah lagi kebodohan rakyat yang tidak mengerti bagaimana menanggulangi wabah tersebut. Ditambah lagi dengan bencana alam, musim kering yang telalu panjang, atau banjir yang tak tertahan yang menyebabkan gagalnya panen dan bencana kelaparan. Pada tahun 1901 dan 1902 seluruh Pulau Jawa memang secara serentak dijangkiti oleh penyakit dan juga bahaya kelaparan.

Dalam suratnya tanggal 10 Agustus 1901 kepada Dr. Adriani, Kartini bercerita tentang wabah kolera yang berjangkit di Semarang dan juga kota-kota besar lainnya, seperti Batavia dan Surabaya. Dalam surat yang sama ia menulis tentang bencana kelaparan di Purwadadi. Pada bulan Oktober tahun yang sama, ia menulis kepada Stella Zeehandelaar tentang kegagalan padi di derah Purwadadi dan Demak. Sekitar 26.000 bau sawah tidak bisa mengeluarkan biji. Bencana ini meniupkan pula kutuk kolera. Dalam suratnya tanggal 26 Mei, ia juga menceritakan wabah kolera yang memakan korban 200 jiwa dalam seminggu. Wabah ini menyerang kota Pemalang di mana adiknya, Kardinah, tinggal. Dan akhirnya pada tanggal 17 Januari 1903 ia menyurat kepada Ny. Van Kol, memberitahukan kesengsaraan rakyat Jepara yang tertimpa musim kering yang ganas dan panjang. Sawah-sawah menjadi padang berwarna coklat, dan bencana yang menyakitkan itu tampak membayang: kelaparan.

Bencana tersebut masih ditambah dengan bencana khusus untuk wanita, yaitu kematian ibu sewaktu melahirkan. Ia menulis dengan pedih: setiap tahun di Pulau Jawa dan seluruh Hindia Belanda rata-rata 20.000 wanita mati karena rnelahirkan, dan 30.000 anak lahir meninggal karena pertolongan bidan yang tidak sempurna. Semua gambaran yang diberikan Kartini, yang sering dengan amat mengharukan dan kadang-kadang amat tajam diungkapkan, menunjukkan betapa "gelap-nya" kehidupan rakyat Jawa saat itu. Mereka secara fisik dan mental amat terbelakang. Secara sosial amat terbelenggu oleh adat yang buruk serta kebiasaan yang merusak, dan selain itu dibebani pajak berat oleh pemerintah. Kondisi fisik lingkungan, serta kesehatan amat menyedihkan sehingga selalu menjadi bulan-bulanan siklus epidemi yang memakan korban ribuan jiwa.

***

Pergulatan Kartini bisa dimengerti dengan baik manakala seluruh pergulatan batinnya diletakkan dalam konteks sebuah proses besar perubahan masyarakat di Indonesia pada pergantian abad ke-19 dan abad ke-20. Perubahan itu khususnya terjadi ketika masyarakat semakin disadarkan kepada upaya untuk memikirkan masa depan yang lebih baik, ketika mereka mulai semakin mengerti makna kata "kemajuan" yang disebarluaskan pada oleh pemerintah kolonial saat itu. Cita-cita tantang kemajuan itu disebarluaskan oleh pemerintah kolonial menjalankan program "politik etis". Pendidikan Barat mulai diperkenalkan secara sistematis di kalangan penduduk bumiputra melalui para bangsawan dan pegawai pemerintah. Pendidikan semacam inilah yang bagaikan virus merasuki seluruh bagian masyarakat, menyebabkan demam dan menganggu kehidupan masyarakat sehari-hari. Cita-cita untuk mengubah masyarakat semakin meningkat dan meluas di segenap lapisan.

Dalam proses tersebut, Kartini bisa dibilang sebagai personifikasi dari proses perubahan tersebut. Karena seluruh hidupnya ia curahkan kepada upaya mengajak semua orang untuk terlibat dalam gerakan memperkenalkan gagasan-gagasan baru tentang emansipasi, kebebasan, dan kemandirian, sebelum pada akhirnya harus mengakui bahwa dirinya terlalu kecil untuk berhadapan dengan tantangan yang terlalu besar.

Sumber

  1. Th. Sumartana, Tuhan dan Agama Dalam Pergulatan Batin Kartini, hlm. 1.
  1. Surat Kartini yang melukiskan hubungan yang memilukan antara laki-laki dan perempuan Jawa antara lain dpat dibaca dalam suratnya kepada Stella Zehandelar tanggal 17 Mei 1902.
  1. F.G.P. Jaquet; 1987, tidak terbit di DDTL oleh Abendanon.
  1. Surat tertanggal 6 November 1989 kepada Stella Zehandelaar … dalam Armin Pane, 1992.
  1. Surat tanggal 27 Maret 1902 kepada Ny. Abendanon Mandri … dalam DDTL.
  1. Surat tertanggal 9 Januari 1901 kepada Stella Zeehandelaar … dalam DDTL
  1. Surat Kartini tertanggal 10 Agustus kepada Ny. Abendanon Mandri pada periods Rembang, sejak perkawinannya tanggal 8 November 1903, Kartini tidak banyak lagi bercerita tentang cita-citanya mengenai pendidikan dan emansipasi wanita. Disitu tampak bahwa Kartini Kalah dan gagal, Namun pada masa itu dengan nada sengit ia banyak bicara soal keadaan rakyat yang miskin dan sulit, karena pajak dan pengaruh candu dari pemerintah kolonial.

MENGENAL PAHLAWAN NASIONAL RM. SURYOPRANOTO

· 0 komentar

Kesan kota Yogyakarta yang disampaikan oleh Ir. Sukarno, bahwa "Yogyakarta menjadi termashur olehkarena jiwa kemerdekaannya. Hidupkanlah terus jiwa kemerdekaan itu". Kesan tersebut bukan muncul begitu saja tanpa alasan. Namun dilandasi oleh peristiwa-peristiwa sejarah yang melatarbelakanginya.

Sejak zaman Kerajaan Mataram, Yogyakarta telah menorehkan tinta emas dalam album sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dari merintis hingga mengisi kemerdekaan. Deretan nama tokoh pahlawan nasional muncul dari Yogyakarta mengisi lembar demi lembar kenangan bangsa tersebut. Salah satu diantaranya adalah RM. Suryopranoto, seorang tokoh keturunan bangsawan Istana Pakualaman Yogyakarta. Karena kegigihannya dalam membela kaum buruh melalui pemogokan, oleh pamerintah Belanda diberi julukan "de staking koning" (raja pemogokan).

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jiwa pahlawannya". Demikianlah kata bijak yang sering kita dengan. Namun, akan lebih bijaksana jika pernyataan tersebut diberi makna baru, bahwa bukan hanya jiwa pahlawannya, namun juga jiwa perjuangannya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, marilah kita coba renungkan kembali siapa dan bagaimana, pahlawan nasional RM. Suryopranoto.

Lahir Hingga Menjadi Pegawai Pemerintah Kolonial

RM. Suryopranoto dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal tanggal 11 Juni 1871. Ia adalah putra Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Suryaningrat, seorang pangeran istana Pakualaman putra Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam III yang lahir dari garwa padmi (permaisuri). Oleh KPA Suryaningrat, ayahnya, putra laki-laki tersebut diberi nama RM Iskandar. Anak laki-laki yang kelak lebih populer dengan nama RM. Suryopranoto tersebut merupakan putra pertama KPA Suryaningrat dari sembilan orang bersaudara. Adapun kedelapan adiknya antara lain: R.M.. Suryosisworo, Ray. Suwartiyah Bintang, R.Ay. Suwardinah Suryopratiknyo, R.M. Suwardi (Ki Hadjar Dewantara), R.M. Joko Suwarto (KRT. Suryoningrat), R.M. Suwarman Suryaningrat, R.M. Surtiman Suryodiputro, dan R.M. Harun Al Rosyid. (Drs. Suratmin, 1981/1982:19)

Tahun-tahun pertama RM. Iskandar tumbuh berkembang di lingkungan istana Pakualaman. Sebagai cucu pertama, RM Iskandar mendapat perlakuan istimewa dari eyang putrinya. Ia sangat dimanjakan. Ketika RM Iskandar sembuh dari sakit, apa saja yang dikehendakinya selalu dipenuhi. Oleh neneknya RM. Iskandar diajak ke pasar Prambanan dan apa yang dimintanya agar diambil dan abdi dalem yang mengawalnya yang akan membayar. Dalam perkembangannya RM Iskandar tumbuh menjadi bangsawan istana yang gamar berkelahi. Tabiat ini sudah nampak sejak masa kanak-kanak, sering terlibat dalam perkelahian dengan anak abdi dalem. Jika ada buah sawo kecik yang jatuh di halaman istana Pakualaman, RM Iskandar segera menyuruh perga anak abdi dalem yang telah berada disana. Jika seruannya tidak diindahkan maka perkelahian tak dapat dihindari dan baru selesai setelah ada abdi dalem yang melerainya. (Budiawan, 1991 : 25)

Pada usia kurang lebih tujuh tahun, RM Iskandar mengikuti ayahnya hidup dikampung, keluar dari istana Pakualaman. Peristiwa ini merupakan hal yang biasa, karena bila seorang pangeran telah berkeluarga, berhak untuk dibuatkan rumah tinggal di luar istana. Namun bagi KPA Suryaningrat, nampaknya peristiwa itu merupakan hal luar biasa. Seakan mereka memang dibuang dari kehidupan istana Pakualaman. Hal itu dilatarbelakangi oleh anggapan Belanda bahwa ayah KPA Suryaningrat (KGPAA Paku Alam III) merupakan anasir yang menghalangi perkembangan kolonialisme. Sehingga lengkap sudah cobaan yang diterima oleh KPA Suryaningrat setelah ia kehilangan haknya sebagai putra mahkota setelah menderita tuna netra saat memasuki usia dewasa. Sebagai pengganti KPA Suryaningrat, Belanda mengangkat saudara sepupunya yang bernama Pangeran Notoningrat sebagai KGPAA Paku Alam IV yang kemudian bergelar KGPAA Surya Sasranigrat. (Budiawan, 1991: 21)

Kepindahan KPA Suryaningrat sekeluarga, termasuk RM Iskandar, menjadikan kehidupan kampung lebih akrab dengan mereka. Pergaulan dengan kaum bangsawan menjadi berkurang dan sebaliknya pergaulan dengan anak kampung lebih meningkat. Kedekatannya dengan anak kampung terlihat jelas ketika RM Iskandar bersama anak-anak kampung belajar Al-Qur'an. Kadang-kadang setelah belajar, mereka tidak pulang dan tidur di masjid Kauman. Permainan dan kebiasaan RM Iskandar juga menyesuaikan dengan kehidupan anak-anak kampung lainnya, yang biasanya mengandung unsur petualangan. Salah satu petualangan yang biasa dilakukan oleh RM Iskandar adalah "memet" atau mencari ikan di Kali Code dibawah jembatan Sayidan. Petualangan lain yang sering dilakukan oleh RM Suryopranoto adalah berkelahi dengan para sinyo (anak-anak keturunan orang Belanda). Para sinyo melontarkan kata-kata yang bagi RM Iskandar begitu memekakkan teilinga dengan mengatakan orang bumi putera bodoh, biadab, ataupun orang Jawa Inlander. Ketika ucapan itu terdengar di hadapannya, RM Iskandar lalu menterjemahkannya sebagai tantangan untuk berkelahi. Hal itu ia perlihatkan ketika saudara sepupunya yang bernama Sutartinah (kelak menjadi Nyi Hadjar Dewantara) dihina oleh seorang sinyo Belanda.(Budiawan, 1991 : 29-31)

Memasuki usia belasan tahun, karena tabiatnya yang pemarah dan gemar berkelahi, di kampungnya yaitu sebelah timur Istana Pakualaman, RM Iskandar mendapat sebutan "Si Landung". Hal ini karena. tubuhnya yang gagah tinggi besar. Sebutan lain yang tak kalah populernya adalah "RM Iskandar Pendekar Jalanan. (Bambang Sukawati, 1983 : 24)

Meskipun ia telah hidup dan berbaur dengan anak-anak kampung, namun ikatan dengan istana Pakualaman tetap terjalin. Pada waktu-waktu tertentu, RM Iskandar sebagai keturunan bangsawan harus memenuhi kewajibannya untuk menghadap raja. Hal ini untuk menanamkan nilai-nilai disiplin, hormat, dan sopan. Dalam audiensi tersebut anak-anak dituntut dapat bersikap halus, sopan, tenang dan patuh.(Budiawan, 1991 : 27)

Memasuki usia tujuh tahun, RM Iskandar mulai memasuki dunia pendidikan formal di sekolah bentukan Belanda yaitu ELS (Europheesche Lagere School) sebuah sekolah rendah Eropa. Kesempatan untuk bersekolah di tempat ini dapat dinikmati oleh RM Iskandar karena kedudukannya sebagai seorang bangsawan sehingga dapat digolongkan dalam golongan pribumi yang dipersamakan (gelijkgesteld). Setelah lulus dari ELS, RM Iskandar mengambil kursus pegawai rendah (Klein Abtenaren Cursus) yang setingkat dengan MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondenvijs), yaitu setingkat SLTP sekarang. Lulus dari Klein Ambtenaren Cursus, RM Iskandar memperoleh ijazah Klein Ambtenaren -Examen. (Budiawan, 1991 : 32).

Dengan ijazah yang dimilikinya, RM Iskandar diterima sebagai juru tulis di sebuah kantor pemerintah kolonial di Tuban (Gresik). Ditempat kerjanya ini, RM Iskandar bertemu dengan RM Oemar Said Cokroaminoto, seorang pekerja dalam sebuah kongsi dagang. Fenomena yang disampaikan oleh Oemar Said Cokroaminoto kepada RM Iskandar berkisar masalah penetrasi kaum kecil (pedagang kecil) yang dilakukan oleh kaum pemilik modal (kapitalis). Ternyata apa yang disampaikan oleh Oemar Said Cokroaminoto ada kesamaan dengan apa yang terjadi di kantor tempat kerjanya, yaitu penghinaan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pejabat Belanda terhadap anak buahnya seorang pegawai rendahan pribumi. Namun pertemuan tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah itu RM Iskandar dipecat dari pekerjaannya. Hal itu disebabkan RM Suryopranoto menempeleng seorang kontrolir Belanda yang menghina seorang pegawai rendahan bumiputera. Tanpa menunggu surat pemecatan yang dikeluarkan oleh Kantor Kontrolir di Tuban, RM Iskandar segera pulang ke Yogyakarta, dan disambut dengan pujian ayahnya. Pangeran Sasraningrat pamannya selaku Gusti Wakil, beberapa hari kemudian mengangkatnya sebagai Wedono Sentono yang menyerupai kepala bagian administrasi kerabat Paku Alam dengan pangkat Pandji. (Bambang Sukawati, 1983 : 46-47)

Dengan jabatan barunya, RM Iskandar mampu lebih banyak belajar dari kondisi yang berkembang di Pakualaman. Kaum lemah menjadi makanan kaum kuat. Rentenir meraja lela. Bagi RM Iskandar hal ini merupakan "genderang perang" untuk memanbantu kaum lemah. Pada tahun 1900 RM Iskandar bersama dengan kawan-kawannya mendirikan perkumpulan yang diberinama "Mardi Kaskaya", yaitu sebuah organisasi yang menyerupai usaha simpan pinjam.(Bambang Sukawati, 1983 : 48) Disamping itu, karena ketertarikannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, RM Iskandar tahun 1901 mendirikan sebuah klub atau medan pertemuan yang diberinama Societeit Sutrohardjo. Dalam klub ini orang bisa membaca berbagai bacaan, seperti surat kabar, majalah dan sebagainya.(Budiawan, 1991:48)

Dua buah organisasi sosial ekonomi yang berhasil dibentuk oleh RM Iskandar tersebut menimbulkan dampak yang luar biasa. Majunya "Mardi Kaskaya" menjadikan ruang gerak rentenir yang telah lama menekan hidup rakyat menjadi lebih sempit. Bahkan kebencian rakyat terhadap mereka (rentenir) tidak jarang memunculkan makian yang berbuntut perkelahian. Hal itu karena reaksi rakyat ditanggapi oleh mereka. Fenomena ini oleh Asisten Residen dipandang sebagai gejala yang mengganggu ketertiban umum. Kondisi ini langsung dikaitkan dengan keberadaan "Mardi Kaskaya". Oleh karena RM Iskandar adalah pendiri dan penggeraknya, maka tuduhan terhadapnya sebagai biang keladi semuanya itu tidak terelakkan. Atas dasar tuduhan tersebut rencana membuang RM Iskandar telah disiapkan. Dengan dalih disekolahkan ke MLS (Middelbare Landbouw School) atau Sekolah Mengah Pertanian di Bogor, RM Suryopranoto berusaha dibuang. (Budiawan, 1991:49)

Sesampainya di Bogor, RM. Iskandar tidak semata-mata hanya belajar saja, namun tetap aktif bergaul dengan pelajar-pelajar lainnya baik dari kalangan bupitera maupun indo. Beberapa sahabat barunya yang berhasil memberikan nuansa baru dalam cakrawala berpikirnya antara lain: Van Hinloopen Labberton seorang tokoh theosofi Belanda tempat RM Suryopranoto mondok, Ernest Eugene Douwes Francois Dekker seorang peranakan Jawa Belanda yang berjiwa ksatria, H. Van Kol, van De Venter, dan para pelajar pribumi baik yang sedang belajar di STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Arisen) atau Sekolah Dokter Jawa di Jakarta. (Budiawan, 1991:50)

Pada tahun 1904 ketika RM Iskandar dan seorang pemuda bernama Achmad merigurus adiknya RM Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) yang mendapat tugas belajar di STOVIA, mempergunakan kesempatan tersebut untuk mempropagandakan sebuah organisasi yang digagasnya, yaitu "Pirukunan Jawi". Karena waktunya yang kurang pas maka propaganda tersebut belum berhasil. Ketika itu Soetomo tokoh Budi Utomo, belum banyak perannya di STOVIA. (Bambang Sukawati, 1983 :54)

Perkenalannya dengan Van Hinloopen Labberton memberikan dasar-dasar ilmiah dalam pemikiran Islam, sehingga RM Iskandar mampu mengembangkan Islam dalam konteks ilmiah. Sedangkan melalui EEF Douwes Dekker banyak keuntungan yang diraih oleh RM Iskandar. Disamping mampu memperluas cakrawala berpikirnya dengan mengadopsi buah-buah pikiran yang dilontarkan tokoh pendukung politik etis ini, juga adanya bibliothiek besar di rumahnya yang terbuka bagi siapa saja, termasuk para pelajar pribumi. Ditambah lagi bahwa EEF Douwes Dekker memberi kesempatan kepada RM Iskandar untuk membantu dalam dewari redaksi Bataviaasch Niewsblad, sebuah surat kabar berbahasa Belanda dibawah pimpinan EEF Douwes Dekker. Pada sisi lain H Van Kol dan Van De Venter yang dikenal sebagai tokoh sosialis Belanda dan penganjur politik etis, serta simpatisan terhadap pergerakan nasional, memberikan masukan yang berharga bagi RM Iskandar tentang pengetahuan awal mengenai paham sosialisme yang digeluti oleh hampir setiap aktifis pergerakan. Dari mereka berdua ini pula RM Iskandar banyak memperoleh buku-buku te ntang Sosialisme, Demokrasi, Nasionalisme dan lain sebagainya (Budiawan, 1991 :55)

Pada tahun 1907, RM Iskandar berhasil menyelesikan pendidikannya di MLS dan berhak atas dua buah ijazah sekaligus yaitu Landbouw Kundige (ahli pertanian) dan Landbouw Leeraar (guru pertanian). Dengan ijazah tersebut RM Iskandar dipekerjakan di Wonosobo sebagai Kepala Dinas Pertanian (Landbouw Consulent) untuk daerah Wonosobo, Dieng, dan Batur guna mengawasi perkebunan tembakau di Kejajar - Garung. Kemudian ia dipindahkan ke Wonosobo karena harus memimpin sebuah sekolah pertanian. Ketika menjalankan pekerjaannya di Wonosobo, RM Iskandar bertemu dengan seorang gadis, anak Kyai Abdussukur penghulu Agama Karang Anyar yang bernama Jauharin Insyiah, yang kemudian menjadi Nyonya Suryopranoto. Sejak perkawinan itulah maka dengan resmi nama RM Iskandar diganti menjadi RM Suryopranoto. (Bambang Sukawati, 1983 : 55)

Dari perkawinannya dengan R.Ay. Jauharin Insiyah, R.M. Suryopranoto dianugerahi empat orang putri dan enam orang putra, yaitu: 1. R.Ay. Retno Setoadi Yudopranoto, 2. R.M. Sumaryo, 3. R.Ay. Sri Kamariyah Sumarno, 4. R.M. Sutaryo, 5. R.M. Sunaryo, 6. R.Ay. Retno Setyati Sriyono Suryosuparto, 7. R.M. Suharyo, 8. R.Ay. Endang Sasakamdani Abdullah Kartoatmojo, 9. R.M. Imam Sumantri, S.H., 10. R.M. Bambang Susilarjo. (Drs. Suratmin, 1981/1982:25-26)

Masuk Dunia Pergerakan

Pada tanggal 20 Mei 1908, di Jakarta tepatnya di gedung STOVIA, dicetuskanlah beridirinya Organisasi Budi Utomo. Nampaknya organisasi yang dipelopori oleh Dr Wahidin Sudirohusodo dengan program Studie Fond-nya ini telah menyentuh hati RM Suryopranoto. Hal ini mungkin dilandasi oleh beberapa kali pertemuannya dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo yang ketika masih di Yogyakarta pernah menjadi dokter keluarga ayahnya. Disamping itu, pembicaraan yang agak serius pernah berlangsung ketika Dr. Wahidin Sudirohusodo singgah di pondokannya di Bogor. Mungkin pula adanya ide mendirikan "Pirukunan Jawi" yang gagal ada hubunganya dengan kedekatannya dengan Dr. Wahidin Sudirohusodo. (Budiawan, 1991 :58-59)

Ketertarikannya RM Suryopranoto terhadap Budi Utomo ini, dibuktikan bergaungnya RM Suryopranoto ke dalam organisasi tersebut. Bahkan dalam kongresnya pertama di Yogyakarta tanggal 3-5 Oktober 1908, RM Suryopranoto terpilih sebagai Secretaris Hoofbestuur. Namun ketertarikan RM Suryopranoto terhadap Budi Utomo berlangsung kurang lebih hanya empat tahun. Setelah berkiprah di dalam Budi Utomo, antara lain dalam pembentukan Onderling Leven-Zekering Maatschappij PGHB (sebuah organisasi yang bergerak dlam bidang asuransi jiwa, yang kemudian berkembang menjadi O.L. Mij Bumi Putera dan selanjutnya menjadi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912) dimana dia menjadi anggota dewan komisaris bersama dengan Sastrowidjojo, Soetandar, dan Dwidjosewojo yang selama menjalankan tugasnya tidak pernah digaji, akhirnya RM Suryopranoto menemukan hal-hal yang tidak memuaskan dalam Budi Utomo.(Budiawan, 1991:62,66-67)

Budi Utomo yang kebanyakan dipimpin oleh kaum priyayi menyebabkan emansipasi sosial yang meperjuangkan rakyat kecil menjadi terganjal. Disamping itu dominasi kelompok tua menggiring organisasi Budi Utomo mengarah pada kooperatif dengan pemerintah Belanda. Ketidak puasan tersebut berpuncak pada keluarnya RM Suryopranoto dan beberapa tokoh dari organisai tersebut dan bergabung ke organisasi lain yang dipandang cocok. RM Suryopranoto keluar dari Budi Utomo dan masuk ke SI (Sarekat Islam) yang setahun sebelumnya bernama SDI (Serikat Dagang Islam) yang berdiri di bawah pimpinan Haji Saman Hudi tahun 1911.(Bambang Sukawati, 1983 : 57)

Kelahiran SI yang dianggap berhasil menyuarakan cita-cita emansipasi sosial menimbulkan daya tarik bagi sejumlah aktifis. Hal ini sangat berbeda dengan Budi Utomo yang menerjemahkan cita-cita emansipasi itu hanya dalam dunia pendidikan untuk dapat mengakat martabat kaum bumi putera yang dalam prakteknya hanya terbatas pada kaum priyayi. SI dengan tegas mendifinisikan cita-citanya sebagai suatu penentuan nasib sendiri dalam politik. Dalam perjuangannya, SI selalu menampakkan sifatnya yang anti kapitalis dan menentang praktek feodalisme. Inilah yang menarik bagi RM Suryopranoto sehingga ia memilih menjadi bagian di dalamnya. Dalam susunan pengurus SI pusat atau CSI (Central Sarekat Islam), RM Suryopranoto berhasil terpilih sebagai salah satu anggota komisaris melalui kongres I SI di Yogyakarta tahun 1914. Ketika itu RM. Suryopranoto masih berkedudukan sebagai Secretaris Hoofbestuur Budi Utomo dan sekaligus sebagai Kpala Dinas Pertanian dan Kepala Sekolah Pertanian di Wonosobo. Bisa dibayangkan betapa sulitnya dalam mengatur waktu. Namun bagi RM. Suryopranoto niat dan semangatlah yang dapat menyelesaikan permasalahan yang dia hadapi. (Budiawan, 1991 : 68-69)

Pada tahun 1915, peristiwa aksi sepihak muncul di depan mata RM. Suryopranoto. Dengan alasan karena masuk menjadi anggota SI, seorang pegawai rendahan pribumi dipecat dari pekerjaanya. Bagi RM. Suryopranoto, hal ini dianggap sebagai panggilan untuk memperjuangkan keadilan yang telah telah menjadi tekadnya. Sifat seorang bertemperamen tinggi mulai muncul, dengan mendatangi pejabat Belanda dengan amarah yang meledak-ledak. Bahkan aksi protesnya dilakukan dengan tindakan yang luar biasa dalam kondisi waktu itu. Secara demonstratif, RM. Suryopranoto mengeluarkan Surat Pengangkatan Jabatan dan Ijazah yang diperolehnya dari MLS Bogor. Dihadapan pejabat Belanda itu, disobek-sobeklah kedua surat berharga itu, sambil mengucapkan janji bahwa mulai saat itu RM. Suryopranoto tidak akan lagi bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda. Apa yang diucapkan oleh RM. Suryopranoto bukan hanya di bibir saja. Berkali-kali pembesar Belanda mencoba untuk menyuapnya agar mau dan bersedia lagi bekerja untuk kepentingan pemerintah Belanda. Namun hal itu tidak ditanggapinya. Dengan lepasnya RM. Suryopranoto dari ikatan dinas dengan pemerintah kolonial Belanda, kebebasan yang sebebas-bebasnya akhirnya dapat diraih. Dengan demikian curahan perhatiannya kepada dunia pergerakan dapat dilakukannya dengan maksimal. (Bambang Sukawati, 1983 : 59)

Sebagai seorang pribadi yang dinamis, keras, dan berjiwa petualang, RM. Suryopranoto tidak dapat tinggal diam. Di dalam organisasi barunya yaitu SI, bersama dengan rekan-rekannya antara lain: Raden Joyodiwiryo, Raden Sastrowiyono, dan Raden Muso, RM. Suryopranoto mendirikan Organisasi Tentara Buruh Adhi Dharma, dimana ia duduk sebagai pimpinannya. (Bambang Sulistyo, 1995 : 44)

Organisasi Adhi Dharma ini, sesuai dengan namanya yang mempunyai arti "Kewajiban Utama", merupakan organisasi yang bergerak dalam bidang sosial-ekonomi dan sosial-pendidikan. Untuk merealisasikan misi yang telah dicanangkan yaitu meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan-rakyat serta meningkatkan kehidupan di bidang sosial ekonomi, maka berbagai usaha telah dijalankan oleh Adhi Dharma. Adapun usaha-usaha tersebut antara lain: 1) Mendirikan sekolah-sekolah umum bagi rakyat dan kaum miskin dalam bentuk SD / HIS, SMP, Sekolah Guru dan Schakel School. HIS Adhi Dharma ini merupakan sekolah partikelir pertama yang didirikan di Indonesia. 2) Mengadakan penyebaran inf ormasi melalui ceraman dan diskusi kepada generasi muda tentang kemasyarakatan dan pergerakan. Sebagai hasil nyata dari usaha ini maka lahirlah JIB / Jong Islamieten Bond yang diketuai oleh Syamsoeridjal adik bungsu Nyonya Suryopranoto. 3) Membuka biro-biro bantuan hukum khususnya bagi kaum lemah atas tindakan sewenang-wenang para penguasa. Lembaga ini sangat membantu rakyat yang tertindas. Keberadaan RM. Suryopranoto yang langsung menangani lembaga ini, menjadikan rakyat menjadi terlindungi jika berada di bawah naungan Adhi Dharma. 4) Mendirikan Koperasi Gotong Royong dengan nama Mardi Kaskaya, yang dulu pernah ada tahun 1900, namun tidak berkembang semenjak ditinggal oleh RM. Suryopranoto ke Bogor untuk menempuh pendidikan di MLS. 5) Membentuk brigade kesehtatan rakyat "Adhi Dharma". 6) Mengadakan pendidikan kader melalui majalah "Medan Budiman". 7) Mendirikan Gedung Adhi Dharma di Jl. Gunung Ketur Yogyakarta. 8) Mengembangkan cabang-cabang Adhi Dharma di berbagai kota seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra. (Bambang Sukawati, 1983:72-74)

Disamping sebagai pemimpin Adhi Dharma, RM. Suryopranoto juga merupakan anggota komisaris CSI, dan sekaligus pengurus SI Cabang Yogyakarta. Sehinga bukan tidak beralasan apabila sekolah-sekolah Adhi Dharma oleh RM Suryopranoto dinyatakan sebagai sekolah SI. Untuk itu bagi anggota-anggota SI yang berniat menyekolahkan anak-anaknya dianjurkan untuk pergi ke Yogyakarta. (Bambang Sulistyo, 1995 : 49)

Tugas RM. Suryopranoto yang menduduki tempat penting bersama Haji Umar Said Cokroaminoto dalam SI, adalah mengurus masalah gerakan buruh dan tani. Tugas ini, dikaitkan dengan hasil kongres SI di Surabaya tahun 1918, merupakan bidang garapan pokok SI. Oleh karena itu pada tahun 1919, dalam kongres SI di Surabaya, setelah mempertimbangkan dan mempelajari perkembangan yang terjadi, RM. Suryopranoto berani menegaskan bahwa sudah waktunya dilakukan aksi massa untuk melaksanakan program SI menuntut dihapusnya kerja paksa, pembagian air sawah rakyat tani, serta adanya kuli ordonansi. Sebagai bentuk tangapan dari apa yang ditegaskan oleh RM. Suryopranoto tersebut maka di berbagai daerah muncul aksi-aksi sporadis menentang tindakan kaum kapitalis antara lain berupa pembakaran kebun tebu dan pemogokan. (Bambang Sukawati, 1983 : 75)

Melihat kenyataan yang ada, maka RM. Suryopranoto melalui Adhi Dharma berusaha mengubah gerakan massa tersebut ke dalam bentuk gerakan yang terkoordinasi dalam sebuah organisasi. RM. Suryopranoto menyatakan bahwa kaum buruh dan tani harus bersatu memperjuangkan kepentingannya tanpa harus melanggar peraturan dengan melakukan tindak pencurian dan pembakaran. Usaha tersebut menjadi kenyataan setelah bulan Agusutus 1918, RM Suryopranoto mengumumkan beridirinya Personeel Fabriek Bond (PFB), Perkumpulan Tani dan Koperasi yang kemudian lazim disebut dengan Perkumpulan Kaum Tani atau Sarekat Tani, dan Perserikatan Kaum Burum Umum (PKBO / Perserikatan Kaoem Boeroeh Oemoeni). Kembali RM. Suryopranoto menganjurkan agar buruh tetap pada pabrik menjadi anggota PFB, buruh musiman di perkembunan tebu masuk menjadi anggota PKBO, dan kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik agar mendirikan koperasi dan bergabung dalam Sarekat Tani. Ketiga organisasi tersebut diketuai oleh RM. Suryopranoto. Dalam perkembangannya PFB segera menjadi kuat dibawah SI Yogyakarta. (Bambang Sulistyo, 1995 :72)

Mulai akhir tahun 1918 anggota PFB kira-kira 700 orang, pada akhir tahun 1919 menjadi lebih kurang 8.000 orang yang tersebut di 90 pabrik gula. Memasuki bulan Desember 1919 anggota PFB mencapai 8.723 dan bulan April 1920 anggota PFB telah mencapai 31.000 orang yang tersebut ke 190 pabrik bula. Dengan demikian anggota PFB telah tersebar ke seluruh pabrik gula di Jawa dan merupakan organisasi buruh terbesar di Indonesia.(Bambang Sulistyo, 1995 :86)

Tahun-tahun sesudah berkecamuknya Perang Dunia I merupakan masa yang sulit. Hal itu sangat dirasakan oleh sebagian besar rakyat di Hindia Belanda. Peristiwa tersebut mengakibatkan buruknya situasi ekonomi di Eropa yang ditandai dengan semakin merosotnya barang-barang produksi Eropa. Sementara itu daerah Hindia Belanda sangat menggantungkan diri pada impor barang-barang kebutuhan pokok dari Eropa. Sesuai dengan hukum ekonomi, dimana kebutuhan meningkat maka harga barangpun menjadi semakin tinggi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika harga barang-barang tersebut juga naik. Hal itu sungguh berbeda dengan apa yang terjadi dengan upah buruh. Upah buruh tidak dapat mengikuti naiknya harga barang-barang, kalaupun upah buruh naik, namun tidak sebanding dengan harga barang-barang yang ada. Kondisi ini sangat menyengsarakan rakyat, khususnya para buruh. (Budiawan, 1991 : 86)

Aksi Pemogokan

Kondisi tersebut memancing munculnya aksi para buruh yang menuntut perbaikan nasib, yang salah satu model yang dipakai adalah pemogokan. Aksi ini akan berhasil jika didukung oleh momentum yang tepat dimana waktu itu posisi buruh sangat dibutuhkan oleh pemilik modal guna meningkatkan produksinya, dan adanya solidaritas antar kaum buruh dengan tidak memanfaatkan keadaan jika aktifis pemogok di kenai sangsi (dipecat), buruh lain agar tidak mau mengisi lowongan yang ada. Koordinasi ini akan berjalan dengan baik jika dibentuk suatu organisasi sekerja. Dengan latar belakang inilah maka dalam rapat CSI di Yogyakarta pada akhir Desember 1919 diputuskan untuk didirikan federasi buruh yang bernama Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dengan susunan pengurus sementara adalah Semaun (ketua), RM. Suryopranoto (Wakili Ketua), Bergsma (Bendahara). Adapun basis PPKB berada di Semarang. Susunan tersebut selanjutnya disempurnakan dalam kongres PPKB I tanggal 1 Agustus 1920 di Semarang, dengan format baru yaitu: Semaun (ketua), RM. Suryopranoto (Wakil Ketua), H. Agus Salim (Sekretaris), dan Alimin (Pembantu). (Budiawan, 1991: 88 dan 96)

Sejalan dengan lahirnya PPKB yang kemudian muncul cabang-cabangnya di seluruh Jawa, pada sekitar pertengahan 1920 muncul berbagai aksi pemogokan yang waktunya hampir bersamaan antara lain di Electische Zagerij (Pabrik Gergaji Listrik) di Surabaya, perusahaan perkebunan Tembakau di Klaten, drukkerij (percetakan) "Sindoro" di Pekalongan, pabrik tapioka di Malang, pabrikgula di Malang, pabrik gula di Langse, Pati, dan pabrik kayu di Malang, pabrikgula di Surabaya, dan Kanigoro, Madiun, Posbond di Weltevreden, dan pabrik gula di Tegal. Disitu terlihat bahwa aksi pemogokan banyak terjadi di pabrik gula. Hal itu dapat dimengerti, karena gula pada waktu itu memegang peran sebagai komoditi eksport yang menjanjikan, serta disitulah nasib buruh banyak bergantung. Dalam hal ini, peranan RM Suryopranoto bersama PFB-nya cukup besar. Hal ini terkait dengan propanda yang dilakukannya di daerah-daerah dekat pabrik gula. PFB yang mengangkat masalah ekonomi, bukan politik, masih dapat ditolerir oleh para penguasa perkebunan dan pemerintah. (Budiawan, 1991 : 90)

Jumlah massa PFB yang cukup besar, dan kondisi obyektif dimana kebencian rakyat terutama buruh terhadap kaum kapitalis mulai meluap-luap, RM. Suryopranoto dengan optimis menyerukan bahwa mobilisasi buruh besar-besaran dengan melakukan pemogokan umum untuk memperoleh kemenangan akan berjalan dengan lancar. Namun seruan yang disampaikannya dalam Kongres PPKB tanggal 1 Agustus 1920 di Semarang tersebut ditanggapi negatif oleh Semaun ketua PPKB sementara. Menurutnya, RM. Suryopranoto telah melakukan aksi-aksi pemogokan sebelumnya yang tidak dikonsultasikan dulu dengannya. Akan tetapi tanggapan Semaun tersebut tidak digubrisnya, ia tetap jalan terus. Langkah awal yang dilakukannya yaitu mengirimkan ultimatum kepada Suikersyndicaat (para majikan gula) pada tanggal 9 Agustus 1920. Ultimatum yang diajukan tersebut kurang lebih berisi bahwa upah buruh yang rendah, sementara biaya hidup telah melambung tinggi, dan pimpinan pabrik gula menolak membahas hal-hal yang menyangkut nasib buruh tersebut memicu keresahan para buruh. Disaming itu PFB menuntut agar keberadaannya diakui sebagai organisasi serikat buruh gula. Jika tuntutan tersebut tidak dikabulkan maka dalam waktu dekat akan dilangsungkan pemogokan umum. (Budiawan, 1991:97-98)

Sesudah ultimatum tersebut tidak ditanggapi, maka RM. Suryopranoto
mengumumkan berlangsungnya pemogokan tanpa dukungan dari Semaun
dan kelompoknya. Pemogokan pertama kali di Indonesia berlangsung dari pabrik gula Padokan Yogyakarta, kemudian munyusul pabrik Gula Nglungge Delanggu, Sala, jatiroto dan seterusnya meluas di seluruh Jawa. RM. Suryopranoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat. Karena aksinya inilah maka Pers Belanda memberi gelar kepada RM Suryopranoto dengan "De Stakingskoning" (si Raja Pemogokan). (Bambang Sukawati, 1983:76)

Meski tuntutan-tuntutan mengenai kenaikan upah dapat dikabulkan oleh kaum kapitalis para pemilik pabrik gula, yang juga bearti meningkatkan kaum buruh, namun pada akhirnya PFB gagal diakui sebagai organisasi buruh. Di sinilah awal keruntuhan PFB. Dari peristiwa ini menyebabkan pamor RM. Suryopranoto dan PFB mulai menyurut. Cabang-cabang PFB di daerah mulai melepaskan diri dan kehilangan kontrol dari pusat. Bahkan ada yang kemudian justru mendirikan sarikat baru dengan nama SBP (Serikat Buruh Pabrikan) yang berorientasi ke Semarang (kubu Semaun). Yang terjadi kemudian adalah pemogokan-pemogokan yang bersifat lokal. Isu yang dimunculkan hanyalah berkisar masalah kenaikan upah dan pengurangan jam kerja. Ini berarti mereka telah berjalan sendiri dan menurut kepentingan sendiri-sendiri pula. Disamping itu PFB mengalami kehancuran akibat krisis finansial yang dialaminya. Guna memperbaiki keadaan, pada tanggal 31 Desember 1920 - 2 Januari 1921 diadakanlah kongres PFB. Dalam kongres tersebut, guna memperbaiki kondisi finansial organisasi, RM Suryopranoto menghimbau agar iuran anggota PFB lebih teratur lagi. Namun apa yang disampaikan oleh RM Suryopranoto kurang mendapat tanggapan dari anggotanya. Kian hari kondisi keuangan PFB semakin buruk sehingga untuk membayar sewa kantor saja sudah tidak mampu lagi, sehingga harus dipindahkan ke salah satu gedung kosong di Sekolah Adhi Dharma. Bukanlah RM. Suryopranoto jika harus menyerah di tengah jalan. Meski keadaan jauh dari seperti yang diharpakan, RM. Suryopranoto pantang menyerah. Dia tetap menyerukan aksi pemogokan umum pada musim giling tebu tahun 1921. Namun para buruh yang kebanyakan telah belajar dari pengalaman, yaitu dipecat dan tidak dipekerjakan kembali setelah aksi mogok, rnaka seruan RM Suryopranoto tidak mendapat tanggapakan yang positif, dan ini berarti rekonsiliasi PFB gagal. (Budiawan, 1991:114,117-118)

Dalam salah satunya pidatonya di Delanggu, RM Suryopranoto melakukan kritik terhadap pemerintah bahkan telah berani menghina polisi yang bertugas mengawasi rapat. Atas tuduhan tersebut RM Suryopranoto terkena Spreekdelict, dan dihadapkan pada Raad van Justitie sehingga harus menerima hukuman penjara selama dua minggu di Malang sejak akhir Desember 1921. Memasuki bulan Januari 1922 RM. Suryopranoto telah keluar dari penjara. Sementara itu pada tanggal 28 Januari 1922, PPPB menyelenggarakan rapat umum di Yogyakarta yang sekaligus menyambut pembebasan RM Suryopranoto dari penjara. Dalam petemuan itu RM Suryopranoto menyampaikan pidato bahwa pemogokan merupakan day a upaya buat mendidik kemerdekaan kaum buruh. Selanjutnya untuk persiapan pemogokan umum dibentuk Comite Hidoep Merdeka yang diketuai oleh RM Suryopranoto. Meski telah dipersiapkan, namun pemogokan gagal dilaksanakan. Hal ini karena adanya intimidasi dari pemerintah, yang akan memecat karyawan pegadaian jika diketahui terlibat dengan aksi pemogokan yang diinstruksikan oleh PPPB. (Budiawan, 1991:129 dan 133)

Titik Balik

Semenjak rencana pemogokan umum PPPB (Januari-Februari 1922) gagal, situasi pergerakan buruh mengalami pasang surut. RM. Suryopranoto sebagai ketua PPPB dan Prawirowijoto selalu sekretaris PPPB segera melakukan perbaikan. Namun perbaikan yang dilakukannya tidak lebih hanyalah bersifat defensif, dan sangat menurun radikalitasnya, bahkan sampai ia ditahan di Semarang tahun 1926 selama enam bulan, geliat pergerakan buruh semakin tidak terasa. Keluar dari penjara, RM Suryopranoto mulai bersikap lebih moderat dan kooperatif. Meski demikian ia tetap konsisten dengan idealismenya. Sikap moderat itu tampak ketika dalam rapat bersama antara PPPB dan VIPBOW (Vereniging Inheems Personeel Burgerlijke Openbare Werken) yang berlangsung tanggal 31 Mei 1919. Salah satu keputusannya adalah rencananya membentuk sentral baru yang anggota-anggotanya hanya terbatas para pegawai pemerintah saja. Sentral baru tersebut kemudian bernama PVPN (Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri). Selain itu diputuskan pula bahwa sentral baru ini tidak berpolitik serta tidak beraliran agama. Memasuki tahun 1930, ketika usianya memasuki 60 tahun, RM. Suryopranoto disamping aktif dalam PVPN, juga aktif dalam sebuah partai politik dengan bergabung dengan PSII (Partasi Sarikat Islam Indonesia). Dalam partai itu RM Suryopranoto duduk sebagai anggota Dewan Partai atau Majelis Takkhim bersama dengan H. Agus Salim, sertai berberapa yang lain, dengan diketuai oleh HOSCokroaminoto. (Budiawan, 1991:157-159)

Namun PSII yang moderat itu, dalam perkembangannya memunculkan sifat lamanya yaitu keras dan radikal. Dalam perkembangannya dalam tubuh PSII terjadi pertikaian antar pimpinan. Hal ini memunculkan dua kubu yang sulit dipertemukan. Yang satu adalah Duet Cokro - Salim (Cokroaminoto dan Agus Salim) dan Suryo - Sukiman (RM Suryopranoto dan Sukiman). Akibat dari pertikaian itu Sukiman dipecat oleh Cokroaminoto dan kemudian mendirikan PII (Partai Islam Indonesia). Sedangkan RM. Suryopranoto mengundurkan diri dari PSII dan selanjutnya menggabungkan diri pada PII. Dalam PII ini RM Suryopranoto hanya duduk sebagai anggota dan tidak begitu aktif lagi. Makin lama aktifitasnya dalam politik makin berkurang. Selanjutnya RM Suryopranoto lebih aktif dalam dunia pendidikan dengan mengajar murid-murid Sekolah Adhi Dharma dan menulis. Melalui hobinya yang suka menulis ini RM Suryopranoto ditangkap dan dijebloskan ke dalam Penjara Sukamiskin mulai tahun 1933 - 1935. Tindakan ini dilatarbelakangi oleh tulisan RM. Suryopranoto yang berupa Encyclopedic Socialisme, yang direncanakan terbit dalam 3 jilid. Namun sebelum karya itu selasai, RM Suryopranoto keburu ditangkap oleh polisi kolonial. Hal itu karena dalam karyanya tersebut RM Suryopranoto telah menghasut rakyat. (Budiawan, 1991:161)

Keluar dari Penjara Sukamiskin, kondisi RM. Suryopranoto mulai menurun. la memutuskan mengundurkan diri dari kegiatan politik dan keluar dari PII. Waktunya dipergunakan untuk kegiatan di Instituut Adhi Dharma. Disamping ilmu pertanian, ia memberikan pelajaran berbagai cabang ilmu seperti tatanegara, ilmu bumi, ekonomi, sosiologi, dan sejarah. Pada masa pendudukan Jepang, RM Suryopranoto semakin menjauh dari kegiatan politik. Disamping karena seluruh kegiatan politik dilarang untuk dilakukan oleh Jepang, juga faktor usia yang telah lanjut. Perguruan Adhi Dharma pun waktu itu tidak luput dari larangan tersebut. Karena Adhi Dharma ditutup, RM. Suryopranoto membantu mengajar di Taman Tani Tamansiswa, disamping juga mengajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun setelah masa pendudukan berakhir, dan memasuki masa kemerdekaan, Perguruan Adhi Dharma dibuka kembali dan RM Suryopranoto kembali mengajar di perguruan tersebut. Disamping itu ia memberikan kursus-kursus politik. Agar kursus tidak hanya dapat diikuti anak-anak sekolah saja, maka materi yang diberikan diterbitkan dalam buku antara lain: 1) Dasar Peladjaran Politik, 2)Tjara Mendirikan Perserikatan, 3) Dasar Tata negera Indonesia. (Budiawan, 1991:162-164)

Menyadari keadaan fisiknya maka sejak tahun 1949 ia berhenti mengajar dan memberi kursus dan lebih banyak tinggal di rumah untuk melakukan kegiatan spritual dengan belajar dan menghanyati Al-Qur'an. Membuat kliping-kliping artikel keagamaan juga sering dilakukakan. Kebanyakan sumber yang diambil adalah dari koran Kedaulatan Rakyat.(Budiawan, 1991:166)

Pada tanggal 15 Oktober 1959, RM Suryopranoto meninggal dunia di Cimahi, Jawa Barat. Jenazahnya dikembumikan di Makam "Rachmat Jati" Kota Cede, Yogyakarta, tanggal 17 Oktober 1959, dengan upacara kemiliteran sebagai seorang Perwira Tinggi, Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 310, RM. Suryopranoto dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional Rebulik Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1960 juga kepadanya diterimakan anugerah Bintang Maha Putra Tingkat II Republik Indonesia.(Budiawan, 1991: 81 dan 178)

PELAYANAN PRIMA DI MUSEUM : SEBUAH KEBUTUHAN MENGHADAPI VISIT MUSEUM YEAR TAHUN 2010

Sabtu, 23 April 2011 · 0 komentar

Oleh : Suharja

Sebuah pelajaran sangat beharga dapat dipetik dari sejarah perkembangan Negeri Cina yang begitu pesat pada saat ini ialah semboyan nasionalnya. Semboyan nasional bangsa cina mengantarkan cina menjadi Negara modern dan negeri industri tersbesar di asia. Semboyan bangsa cina “‘I want to change my life” merupakan semboyan yang dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat cina sehingga bangsa cina yang sangat miskin dan terbelakang dua dekade yang lalu berubah menjadi raksasa ekonomi yang canggih didunia. Cina benar-benar berubah sesuai dengan semboyannya mengubah kehidupan masyarakat “”menjadi macan Asia”. Tidak terkecuali dalam permuseuman di Cina pun turut berkembang pesat sejalan dengan perkembangan industrinya.

Kita sebagai insan permuseuman perlu belajar banyak dan sangatlah relevan untuk untuk memicu etos kerja di museum. Berkaitan dengan program Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di tahun 2010 yaitu tahun Kunjungan Museum, sudah sepantasnya kita berbenah diri untuk menyiapkan program-program museum agar lebih dikenal dan benar-benar menjadi tempat tujuan wisata pendidikan yang dapat diandalkan. Tidak kalah penting adalah menyiapkan garda terdepan mudium yaitu pelayanan. Pelayanan merupakan kunci utama bagi kesuksesan museum.

Pelayanan memiliki beberapa arti antara lain membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang(soetopo,1999).sedangkan pelayanan adalah merupaqkan usaha melayani kebutuhan orang lain (kamur besar bahasa Indonesia. 1995). Pelayanan yang sangat baik/pelayanan yasng baik. Pelayanan prima merupakan bagian dari Total Quality Service museum terhadap pengunjungnya. Sedangkan Total Quality Service adalah sistem manajemen strategik dan integrative yang melibatkan semua manajer dan pegawai serta menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasi, agar dapat memenuhi & melebihi kebutuhan, keinginan & harapan pelangan (sistematis, 1996).

Pelayanan prima dimusium tidak terlaksana tanpa adanya profsionalitas kerja. Pegawai harus memiliki dedikasi yang tinggi dan professional. Hal itu dapat dilihat dan ditujukan dari cirri profesionalisme antara lain kebanggaan terhadap profesi kerja di museum. Pegawai museum harus mencintai pekerjaannya terlebih dulu. Dengan mencintai pekerjaan maka etos kerja akan meningkat dan kebanggaan profesinya tertanam di dalam sanubarinya. Selanjutnya pegawai museum merupakan pelayan bagi pengunjungmuseum, siapapun pengunjung harus dilayani tanpa terkecualidengan sepenuh hati. Ibarat berdagang maka pengujung museum adalah raja yang harus dilayani kebutuhannya. Jika dua hal tersebut diatas sudah menjadi bagian dari etos kerja pegawai museum maka dengan sendiri setiap permasalahan yang muncul dalam museum baik teknis maupun non teknis akan dfapat karena cirri ketiga professional adalah problem solver yaitu mengatasi segala masalah, bukan membuat masalah baru.

Pelayanan prima di meuseum tidak dpaat dilepaskan dari tiga pilar utama yaitukompetensi, customer (pelanggan) dan competitor. Artinya untuk melayani secara prima maka pegawai museum harus memiliki kompetensi atau keahlian sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Tenaga pemandu harus memiliki keahlian dibidang konservasi dan sebagainya. Pendek kata penempatan personil harus sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Selanjutnya segala kegiatan dan aktifitas museum muaranya adalah untuk pelanggan atau customer. Artinya harus menentukan positioning yang tepat dalam menjaring pelanggan disesuaikan dengan visi dan misi museum. Jika focus pelanggan sudah ditetapkan maka harus dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. Tidak kalah penting hal berikutnya adalah selalu bealajr dari kemajuan institusi sejenis sehingga museum tidak ketinggalan. Kemajuan pesaing atau kompetito lain harus menjadi cambuk untuk selalu mengembangkan dan mencari inovasi demi kemajuan dan kepuasan pelanggan.

Filosofi pelayanan prima yang dapat diterapkan di museum antara lain :

  1. Fokus pada pelanggan (pelanggan segalanya)

  2. Obsesi terhadap kualitas (selalu ada peningkatan kualitas, minimal pelayanan pada tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin)

  3. Pendekatan ilmiah (inovatif dan kreatif, trial and error)

  4. Komitmen jangka panjang (perlu perubahan budaya bahwa segala aktivitas harus direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan diadakan pengawasan & evaluasi)

  5. Kerjasama tim, perlu ditekankan bahwa semau lini pekerjaan adalah penting, tidak ada yang tidak penting, semua lini memilki andil dalam mencapi kemajuan sehingga jika salah satu lini tidak berfungsi akan menggangg lini lainnya.

  6. Perbaikan sistem secara berkelanjutan(pegawai museum tidak boleh puas dengan hasil yang telah diraih, selali ada perbaikan dan kemajuan)

  7. Pendidikan dan pelatihan (untuk meningkatkan kompetensi pegeawai perlu diadakan pendidikan dan latihan secara berjanjang)

Pada akhirnya sesuatu pelayanan bisa disebut sebagai pelayanan prima apabila sudah memenuhi ketentuan sebagai berikut :

  1. Perbaikan berkelanjutan, artinya selalu ada peningkatan dalam setiap kegiatan.

  2. Bebas dari cacat / mengurangi cacat

  3. Pemenuhan kebutuhan sejak awal dan setiap saat (mulai dari masuk, menikmati, keluar museum, membawa kenangan)

  4. Melakukan secara benar (standar pelayanan) pelayanan di museum harus terukur dan memiliki standar baku.

  5. Membahagiakan pelanggan, artinya pengunjung adalah ibarat raja yang harus dilayani dan dipuaskan)

Pelayanan di mueum dapat dikatakan sebagai pelayanan prima apabila memiliki cirri-ciri standar pelayanan prima antara lain sebagai berikut :

  1. Ketepatan waktu pelayanan, jam buka dan tutup museum harus konsisten. Untuk mengantisipasi pengunjung sebaiknya pegawai museum dibagian pelayanan harus sudah siap sebelum jam buka. Jangan sampai pengunjung museum sudah ada tetapi pegawai yang menangani belum ada.

  2. Akurasi pelayanan, artinya pelayanan dilakukan sesuai dengan kebutuhan umur, pendidikan dan kepentingan pelanggan. Pelayanan terhadap anak-anak TK tentu berbeda dengan pelayanan terhadap anak-anak SD, dan seterusnya. Museum harus memiliki standar pelayanan terhadap masing-masing pelanggan sesuai dengan umur dan pendidikannya.

  3. Kecepatan dalam pelayanan karena waktu pengunjung terbatas. Biasanya pengunjung museum mengunjungi museum dengan waktu yang terbatas. Rata-rata pengunjung berada di museum kurang lebih sekitar satu sampai satu setengah jam. Sebab kunjungan ke museum biasanya merupakan paket kunjungan dengan obyek wisata lainnya sehingga waktunya terbats. Oleh karena itu kecepatan dalam pelayanan sangat dibutuhkan.

  4. Kesopanan dan keramahan. Hal ini merupakan kunci utama untuk menarik pengunjung. Pelayanan yang ramah dan sopan dapat mejadi senjata yang sangat ampuh dalam pemasaran karena kekecwaan pelayanan yang dialami pengunjung akan disampaikan ke semua orang yang ditemuinya. Tetapi kepuaan pelayanan hanya akan disampaikan kepada sepuluh orang teman terdekatnnya.

  5. Kemudahan mendapatkan pelayanan, waktu yang sangat pendek dalam melayani pengunjung harus diimbangi dengan kemudahan untuk mendapat berbagai akses yang dibutuhkan pengunjung baik informasi sarana dan prasana museum.

  6. Kenyamanan dalam pelayanan (di semua lini). Museum harus dilengkapi dengan sarana dan prasana yang mendukung museum sebagai tujuan wisata, pendidikan dan pusat informasi. Pengunjung harus memilki kenangan tersendiri yang lain dari pada yang lain di museum.

  7. Atribut pendukung lainnya seperti bersih, indah dan berkesan.


Dalam pelaksanaannya tentu tidak mudah karena selain ada faktor pendukung tentu ada faktor penghambatnya. Adapun factor pendukung tercapainya pelaksanaan pelayanan prima antara lain :

  1. Self Esteem / Harga Diri

Harga diri merupakan unsure penting dalam pelayanan. Keteladanan dan keprimaan harus dimulai dari lini atas manajemen. Segala sesuatu harus dimulai dari saat ini, mulai dari sdiri sendiri, dan mulai dari hal terkecil.

  1. Exceed Expectation / melampaui yang diharapkan.

Museum harus membuat visi misi yang tidak bisa dijangkau agar bisa memenuhi harapan dan keinginan pengunjung karena banyak organisasi menciptakan haapan tinggi tetapi pelayanan hanya biasa-biasa saja atau bahkan kurang sehingga menjadi boomerang karena tidak sesuai dengan promosi yang diterima masyarakat.

  1. Recovery / pembenahan.

Agar museum benar-benar manjadi milik pengunjung maka pihak museum perlu mengadakan studi tentang kebutuhan pelanggan museum baik dari tingkat umur maupun pendidikan. Mengetahui kebutuhan pelanggan merupakan kebutuhan pokok agar keberadaannya benar-benar sesuai kebutuhan. Keluhan pelanggan bukan masalah tapi merupakan peluang untuk memperbaiki kesalahan. Pembenahan harus selalu diadakan setiap tahun, kalau bisa harus ada hal baru ang dapat dinikmati oleh pengunjung museum setiap tahunnya.

  1. Vision / pendangan ke depan

Museum harus menciptakan kultur organisasi (dorporate culture) karena museum merupakan industri budaya yang memerlukan kreatifitas pegawai. Teknologi merupakan bagian dari kerja bukan sebaliknya.

  1. Improve / peningkatan.

Museum harus selalu memiliki inovasi baru dengan kata lain berubah atau ditinggalkan pelanggan.

  1. Care / perhatian

Museum harus berupaya menyenangkan pelanggan serta memperhatikan kualitas pelayanan.

  1. Empower / pemberdayaan.

Pegawai museum harus diberdayakan sesuai dengan keahlian bidangnya masing-masing. Pegawai museum perlu belajar dari kesalahan.

  1. Sustainable / berkelanjutan.

Segala sesuatu aktifitas di museum harus dilaksanakan secara berkelanjutan..

Ada beberapa perilaku yang perlu dihindari oleh pegawai museum agar tidak menghambat kemajuan yaitu antara lain perilaku negative Bounded Rationality atau memeprtahankan status quo dan menolak perubahan. Perilaku yang kedua adalah Opprtunistic Behavior yaitu perilaku yang hanya mengejar keuntungan sendiri dengan kecurangan. Jika perilaku ini masih banyak dilakukan oleh pegawai musueum maka besar kemungkinan museum akan maju dan dikenal baik oleh masyarakat. Ada dua pilihan yaitu mau maju atau mundur. Ada kebiasaan bangsa Indonesia yang salah satu mebenarkan yang biasa artinya segala sesuatu walaupun salah jika dilakukan oleh banyak orang dianggap sebagai sesuatu yang benar. Pola tersebut harus diubah menjadi membinasakan yang benar. Artinya walaupun perilaku itu banyak dilakukan oleh banyak orang tetapi jika hal itu salah sebaiknya jangan ditiru. Biasakanlah segala sesuatu yang benar. Kunci terakhir kemajuan adalah tidak ada kemajuan tanpa perubahan tanpa perbuatan, serta tidak ada perbuatan tanpa kemajuan. Intinya untuk maju adalah mau berbuat perubahan untuk kemajuan.


Daftar Pustaka :

Hardjosoedarmo, Soewarso (1997), Dasar Dasar Total Quality Management, Yogyakarta, Penerbit Andi.

Hardjosoekarto, Sudarsono (1994), Beberapa Persfektif Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, No.3/Vol IV/September, 1994.

Soetopo (1990), Pelayanan Prima, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1999.



Daftar Pustaka :

Hardjosoedarmo, Soewarso (1997), Dasar Dasar Total Quality Management, Yogyakarta, Penerbit Andi.

Hardjosoekarto, Sudarsono (1994), Beberapa Persfektif Pelayanan Prima, Bisnis dan Birokrasi, No.3/Vol IV/September, 1994.

Soetopo (1990), Pelayanan Prima, Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1999.



Museum Benteng Vredeburg

Foto saya
Jl. Jenderal Ahmad Yani 6 Yogyakarta 55121 Telp. (0274) 586934, Fax. (0274) 510996 e-mail : vrede_burg@yahoo.co.id

Museum Perjuangan

Pengikut

 
Salam Sahabat Museum, Yuk Ke MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA, Kita Semarakkan Tahun Kunjung Museum, AYO KE MUSEUM......