Rabu, 14 April 2010 ·

RUANG PAMERAN TETAP MINIRAMA IV

Di ruang pameran tetap ini, digambarkan sekilas peristiwa-peristiwa perjuangan di Yogyakarta yang terjadi sejak Indonesia kembali kebentuk pemerintahan (Negara Kesatuan Repoblik Indonesia) NKRI sampai dengan Masa Orde Baru (1950-1974)

Putaran roda sejarah berjalan dengan pasti lengkap dengan dinamika sebagai isinya . kemerdekaan telah dicapai, pengakuan kedaulatan tealah diraih. Kini tiba saatnya untuk menunjukkan kepada dunia luar eksistensi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka dan berdaulat. Disamping itu prosess “ berbenah diri” pun dimulai. Dalam proses ini tidak jarang ditemui tajamnya batu-batu sandungan perjuangan. Hal itu terjadi karena kesepahaman akan landasan idiil (ideology) Negara belum tercapai. Pertentangan-pertentangan yang terjadi berseumber pada masalah perbedaan idealisme kelompok.

Dalam hal ini, Yogyakarta sebagai kota perjaungan selalu tampil ke depan. Ide-ide pembaharuan banyak bermunculan dari Yogyakarta. Tonggak-tonggak perjaugan tersebut merupakan dukumen histories yang patut diketahui oleh generasi muda. Oleh karena itu melalui materi pameran di Ruang Pameran Tetap Minirama IV diharapkan masyarakat dapat dipertebal karenanya. Adapun visulalisasi dari peristiwa- peristiwa tersebut antara lain :

Pemilihan Umum Pertama di Yogyakarta Tahun 1951 :

Lokasi : Yogyakarta

Waktu : 16 Juni s.d. 10 Nopember 1951

Adegan: Pelaksanaan Pemilu Pertama di salah satu daerah di Yogyakarta

Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pemilu sebagai pelaksanan hak mutlak dari rakyat untuk memilih wakil wakilnya di DPR selalu menjadi dambaan. Usaha tersebut telah dimulai sejak Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta tersebut telah dimulai sejak Ibukota RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta 4 Januari 1946. Untuk itu dibentuk suatu panitia yang bertugas untuk memikirkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilihan umum tersebut. Langkah selanjutnya menjadi terhenti karena terjadinya Agresi Militer Pertama pada tanggal 21 Juli 1947. Baru pada bulan Agustus 1948 pemerintah RI berhasil mengesahkan Undang-undang No.27 Tahun 1948 tentang susunan DPR dan pemilihan anggotanya. Akan tetapi persiapan untuk melaksanakan UU tersebut terputus ditengah jalan karena adanya Agresi Militer Belanda Kedua tanggal 19 Desember 1948.

Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, Juli 1949, langkah-langkah untuk melksanakan pemilu dilanjutkan kembali. Sementara itu KMB berlangsung sejak 23 Agustus s.d. 2 Nopember 1949 dengan hasil pengakuan kedaulatan RIS yang disahkan tanggal 27 Desember 1949. bentuk Negara menjadi RIS dan RI Yogyakarta merupakan bagian dari RIS.

Sebagai acting presiden RI diangkat Mr. Asaat (ketua KNIP). Untuk melanjutkan pemerintahan RI maka pada tanggal 4 Januari 1950 Mr. Asaat menunjuk 3 orang formatur, pembentuk kabinet yang beranggotakan Mr. Susanto Tirtoprojo, Muhammad Natsir dan Dr. Halim. Mereka sepaakt mengangkat Dr. Halim sebagai Perdana Menteri.

Akibat dari berdirinya Negara federalis di bekas daerah penjajahan Belanda menimbulkan pertentangan yang berakhir dengan kontak senjata (pemberontakan). Pertentangan tersebut terjadi akibat adanya perbedaan pendapat antara golongan unitaris federalis yang menginginkan bentuk Negara federal.

Di Yogyakarta golongan unitaris terus menjalankan menjadi impian dari sebagian besar rakyat. Mundurnya wali negara Jawa Timur, kemudian diikuti oleh wali negara di negara di bagian yang lain. Hingga pada bulan Mei tanggal 3 negara bagian dari RIS yang masih ada yaitu RI Yogyakarta, Negara Sumatera Timur (NST), dan Negara Indonesia Timur (NIT). Melihat desakan rakyat untuk segera kembali ke NKRI (Negara Kesatuan Repoblik Indonesia) maka setelah RIS, NST dan NIT berunding diputuskan bahwa untuk mewujutkan keinginan rakyat untuk kembali ke NKRI, harus diadakan pembicaraan antara RIS dan RI. RIS diwakili oleh Drs. M. Hatta dan RI diwakili oleh Dr.Halim. tanggal 19 Mei 1950 kedua belah pihak (RIS dan RI) telah menandatangani kesepakatan terbentuknya NKRI. Oleh karena itu Presiden segera mengeluarkan UU No.20/1950, tanggal 14 Agustus 1950. Keesokan harinya, 15 Agustus 1950 Mr. Asaat menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno. Dan saat itu pula negara kembali ke bentuk NKRI.

Dengan demikian kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi berubah. Melalui UU No.3/1950 kedudukan DIY berubah dari Ibukota RI menjadi Daerah Istimewa berstatus Swatantra I yang mengandung konsekuensi akan dilanjutkan usaha-usaha demokratisasi. Oleh karena itu dibentuk badan-badan pemerintah seperti DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Hal itu dilaksanakan berdasarkan UU No. 7 tahun 1950 tanggal 19 Juli 1950 tentang pemilihan anggota DPRD Propensi dan Daerah di dalam lingkungan yang merupakan pemilihan bertingkat. Sejalan dengan itu dikeluarkan pula PP No.36 taun 1950 tentang penyelenggaraan UU No. 7 tahun 1950.

Di Yogyakarta Pemilu dilaksanakan pada tanggal 16 Juli s.d.10 Nopember 1951. Pemilihan umum di Yogyakarta ini merupakan pemilihan umum bertingkat. Pada hakekatnya pemilihan umum bertingkat ini merupakan eksperimen. Hal ini karena disesuaikan degan tingkat kecerdasan penduduk, kurang sebandingnya petugas dengan masyarakat. Serta belum adanya pengalaman.

Dalam pemilihan umum bertingkat ini, rakyat tidak langsung memilih wakilnya akan duduk di DPR/DPRD. Tetapi rakyat memilih “wali pemilih”. Dan wali pemilih inilah yang akan memilih wakil rakyat yang akan duduk di DPR/DPRD. Sesuai dengan Undang-Undang maka setiap 250 jiwa ditetapkan dipilih 1 orang wali pemilih. Selain di Yogyakarta, yang melaksanakan pemilu bertingkat ini adalah di Minahasa.

Dalam pemilu ini, parpol mengadakan kampanye secara berkelompok. Kelomok tersebut membentuk panitia kampanye. Seperti Kesatuan Aksi Pemilihan umum (KAPU) yang dibentuk oleh Masyumi, BPII, Muhammadiyah dan sebagainya yang jumlahnya 15 Organisasi. Panitia Kesatuan Aksi Buruh dan Tani (PKABT) yang dibentuk oleh SOBSI,BTI, PSII, PKI, Gerwis, Pemuda Rakyat dan Pemuda Muslim. Panitia itu berkampanye ke desa-desa dengan mengadakan rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan.

Adapun jadual kegiatan pemilihan dari tanggal 16 Juli sampai dengan 10 Nopember 1951 adalah sebagai berikut :

1. Tanggal 16 Juli : Pendaftaran Penduduk

2. Tanggal 30 Juli : Pengajuan Calon Untuk Pemilih

3. Tanggal 5 Agustus : Pendaftaran Pemilihan Umum

4. Tanggal 27 Agustus : Pemilihan Pemilih di Kelurahan

5. Tanggal 11 September : Pengajuan Calon anggota DPRD di kabupaten dan kota Praja

6. Tanggal 7 Oktober : Pemungutan suara calon anggota DPRD di Kapanewon Kemantren

7. Tanggal 20 Oktober : Penetapan hasil pemilihan anggota DPRD di Ibukota Yogyakarta

8. Tanggal 10 Nopember : Pemilihan Umum Selesai.

Berdasarkan suara-suara pemilih yang masuk maka Masyumi mendapat 18 kursi, Persatuan Pamong Desa Indonesia (PPDI) 7 kursi, Panitia Kesatuan Aksi Buruh dan Tani (PKABT) 5 kursi, PNI 4 kursi, Partai Katholik 2 kursi, Sarekat Sekerja Pamong Praja (SSPP) 2 kursi dan Parti Indonesia Raya 2 kursi. Kemudian dari 40 orang anggota DPRD hasil pemilihan umum dipilih 5 orang sebagai anggota Dewan Pemerintah Daerah. Kelima anggota tersebut yaitu dua orang dari Masyumi, seorang dari PNI, seorang dari PPDI dan seorang lagi dari PKABT.

Para anggota DPRD DIY hasil pemilihan umum bertingkat ini pada tanggal 24 Desember 1951 dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq Cokrohadi Surya di Gedung DPRD Jl. Malioboro.

Sebagai pemilu pertama, pemilu tahun 1951 di DIY mendapat perhatian besar dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah lain. Mereka masing-masing mengirimkan tim peninjauan. Kantor Pemilihan Pusat mengirim Mr. Subagyo Resodiporo dan Ny. Pujobuntoro. Sedangkan DPRS mengirim Hadikusumo, Amels, Mari Yara, Moch Tauchid, Andi Gappa dan Meizir Achmadiyas. Daerah-daerah lain yang mengirim Peninjau antara lain : Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Konferensi Rencana Colombo Tahun 1959 :

Lokasi : Univesitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Waktu : 26 Oktober s.d. 14 Nopember 1959, dalam rangkaian Konferesnai Rencana Colombo XI

Pada bulan Januari 1950 bertempat di Colombo (ibukota Srilangka) berlangsung konferensi para menteri luar negeri dari negara-negara persemakmuran Inggris. Dalam konferensi tersebut, Senayake (Perdana Menteri Srilangka) mengusulkan untuk memasukkan rencana pembanguann ekonomi. Ternyata usul tersebut mendapat tanggapan positif dari menteri luar negeri Australia.

Langkah selanjutnya dalam konferensi tersebut disusun sebuah rencana pemberian bantuan bagi negara-negara persemakmuran di Asia Selatan dan Tenggara secara kerjasama internasional dalam hal pembangunan dan perkembangan ekonomi. Rencana pembangunan ekonomi Asia Selatan dan Tengaara ini selanjutnya dinamakan “Rencana Colombo”. Nama resminya adalah “Plan for cooperative Economic Development of South East Asia” atau “Rencana Kerjasama Untuk Pembangunan Ekonomi di Asia Selatan dan Tenggara”. Adapun tujuan dari Rencana Colombo adalah untuk memajukan ekonomi neagra-negara Asia Selatan dan Tenggara dengan jalan kerjasama dan Bantu-membantu.

Pada waktu Rencana Colombo dilahirkan pada tahun 1950, anggotanya hanya terdiri dari negara-negara anggota Persemakmuran Inggris yaitu Australia, India, Inggris, Pakistan, Srilangka dan Selandia Baru, Kemudian keanggotaan itu diperluas dengan ikut sertanya Amerika Serikat dan negara-negara lainnya di Asia Selatan dan Tenggara sebagai anggota. Indonesia menjadi anggota pada tahun 1953.

Sejak menjadi anggota Rencana Colombo, Indonesia menerima bantuan ekonomi maupun bantuan teknis dari negara-negara anggota Rencana Colombo. Bantuan tersebut dipergunakan untuk pembangunan ekonomi dalam rangka mempertinggi tingkat kehidupan rakyat.

Dalam konferensi negara-negara persemakmuran Inggris yang diadakan di Sydney Australia bulan Mei 1950 dibentuklah Dewan Konsultatif (Consuatative Committee) yang beranggotakan wakil tingkat menteri negara-negara anggota Rencana Colombo. Pada bulan Oktober 1950 Dewan Consultative mengadakan sidang di London yang hasilnya bahwa dewan koncultative menyetujui akan adanya program pembangunan ekonomi.

Masa kerja Rencana Colombo, semula direncanakan untuk masa 6 tahun terhitung mulai juli 1951 sampai akhir bulan Juni 1957. tetapi rencana tersebut digagalkan karena dalam Konferensi Dewan Konsultatif di Singapura tahun 1955 diputuskan bahwa masa kerja Rencana Colombo diperpanjang sampai bulan Juli 1961. Kemudian perpanjangan masa kerja selanjutnya sesudah tahun 1961 dibicarakan dalam Konferensi Dewan Konsutatif Rencana Colombo di Yogyakarta tahun 1959

Tahun 1958 dilaksanakan Konferensi Tahunan Dewan Konsultatif Rencana Colombo ke X di Seattle Amerika Serikat. Sebagai anggota Rencana Colombo, RI juga mengikuti Konferensi tersebut. Delegasi RI dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio. Dalam konferensi tersebut RI menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah bagi Konferensi Rencana Colombo tahun1959. Sebenarnya pada tahun tersebut pemerintah Malaya pun juga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah yang secara resmi disampaikan pada bulan Juli 1958. Namun berkat kerjasama yang baik antara delegasi RI dan Malaya, akhirnya tuan rumah konferensi Colombo 1959 diserahkan kepada pihak RI.

Setelah diputuskan bahwa Konferensi Rencana Colombo tahun 1959 akan diselenggarakan di Indonesia, maka Yogyakarta kemudian ditunjuk sebagai penyelenggara. Pemberitahuan secara resmi bahwa Konferensi Rencana Colombo tahun 1959 akan diadakan di Yogyakarta, diterima oleh pemerintah D.I.Y. tanggal 26 Desember 1958. Oleh karena itu persiapan segera dilakukan.

Penunjukkan Yogyakarta sebagai penyelenggara dalam Konferensi Rencana Colombo 1959 ini berdasarkan pertimbangan bahwa Yogyakarta sampai saat itu telah dua kali menyelenggarakan konferensi internasional yaitu International Rubber Study Group Conference bulan Juli 1957 dan ECAFE Conference bulan Oktober 1957. Atas dasar tersebut maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyanggupkan diri untuk menerima sebagai penyelenggara Koferensi Rencana Colombo tahun 1959.

Dalam hal pemenuhan masalah akomodasi untuk keperluan konferensi panitia memperoleh pinjaman dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang terletak di Sekip dan Bulaksumur serta gedung-gedung yang dibangun oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta di Kompleks Demangan.

Gedung yang berada di Sekp milik UGM terdiri dari tiga buah yaitu unit III, unit IV dan unit V. Unit III dan unit IV dipergunakan untuk ruang pameran, kantor delegesasi, Press Room, Kantor Pos Telegram dan Telepon, Kantor Host Committee, Toko-toko Souvenir, Kantor Cabang Bank Indonesia, Kantor GIA, Rumah Makan, Kantor Imigrasi, Ruang untuk Pemutaran Film, Klinik dan sebagainya. Sedang untuk persidangan (Main Conference Hall) menempati unit V.

Bagi para delegasi tingkat ahli disediakan penginapan di perumahan Kompleks Demangan. Sedangkan sebagai para delegasi tingkat menteri disediakan perumahan di kompleks Bulaksumur. Sedangkan Hotel Garuda dipergunakan sebagai tempat penginapan bagi para wartawan dalam dan luar negeri yang meliputi jalannya Konferensi Rencana Colombo tahun 1959.

Konferensi Rencana Colombo XI di Yogyakarta tahun 1959 diikuti lebih kurang 150 orang delegasi dari 21 negara antara lain Amirika Serikat, Inggris, Australia, Kanada, Birma, Jepang, India, Pakistan, Indonesia, Kamboja, Muang Thai, Laos, Philipina, Srilangka, Singapura, Kalimantan Utara, Serawak dan beberapa peninjau dari Colombo Plan Bureau, ECAFE, UNTB,dan IBRD. Kecuali itu Konfrensi Rencana Colombo juga mendapat perhatian yang besar dari pers dalam negeri dan luar negri.

Konfrensi Rencana Colombo di Yogyakarta ini terbagi dalam dua bagian, yaitu konferensi Tingkat Ahli dan Konferensi Tingkat Menteri. Konferensi Tingkat Ahli Berlangsung dari tanggal 26 Oktober s.d. 6 Nopember 1959, sedang Konferensi Tingkat Menteri berlangsung tanggal 11 s.d. 14 Nopember 1959.

Konferensi Tingkat Ahli dibuka dengan resmi pada tanggal 20 Oktober 1959, pukul 09.00 dengan suatu upacara bendera dari salah satu Negara peserta. Adapun yang membuka konferensi adalah Suwito Kusumowidagdo selaku Sekretaris Jendral Konferensi Rencana Colombo. Materi yang dibahas adalah seluruh aspek pembangunan, ekonomi dan social. Kebutuhan akan tenaga ahli dan pendidikan mendapat perhatian khusus. Demikian pula usaha mengembangkan produksi dan kemungkinan pasaran produksi. Pada tanggal 6 Nopember 1959 pukul 16.00 Konferensi Tingkat Ahli ditutup oleh Ketua Konferensi Ismail Thaiyeb.

Konferensi Tingkat Menteri dibuka resmi pada tanggal 11 Nopember 1959 pukul 09.00 oleh Presiden Sukarno. Upacara pembukaan dihadiri selain oleh segenap delegasi dari Negara-negara peserta, juga Presiden Sukarno, beberapa menteri dari kabinet karya, wakil ketua dewan pertimbangan agung, pembesar-pembesar militer, police, sipil, para duta besar Negara asing dan para wartawan dalam dan luar negeri.

Kemudian pada tanggal 14 Nopember 1959 pukul 12.00 Konferensi Rencana Colombo tingkat menteri ditutup oleh ketua Konferensi Dr.Subandrio dengan suatu penurunan upacara bendera dari Negara-negara peserta Konferensi Rencana Colombo XI. Konferensi tersebut berakhir dengan menghasilkan sebuah komunike, yang secara garis besar sebagai berikut :

1. Dewan konsultatif Rencana Colombo XI telah menerima laporan tahunan yang meliputi perkembangan ekonomi sejak konferensi tahunan yang lalu, meliputi masalah dan tugas untuk masa depan serta usaha mengembangkan ekonomi. Laporan ini akan disiarkan di ibukota Negara-negara rencana Colombo pada atau sesudah tanggal 7 Januari 1960. Pada mukadimah yang termuat dalam bab yang pertama dikemukakan mengenai tinjauan ekonomi selama tahun yang lalu dan dalam bab ke 2 disebutkan mengenai “The task a head” atau tugas berikutnya untuk perkembangan ekonomi.

2. Singapura yang sebelum konferensi ini dalam keanggotaan Rencana Colombo masih termasuk ke dalam Kerajaan Inggris sekarang diterima anggota penuh setelah diadakan perubahan konstitusinya yang membuat Singapura menjadi Negara yang berdaulat.

3. Konferensi telah mengambil keputusan memperpanjang jangka waktu kerja Rencana Colombo dengan lima tahun lagi, terhitung mulai dari tahun 1961 dengan pengertian, bahwa dalam sidang tahunnanya dalam tahun 1964 nanti perpanjangan akan dirundingkan.

4. Dalam laporan-laporan tahunan ini dewan konsultatif menemukan hal-hal yang sangat membesarkan hati untuk mempercepat kegiatan ekonomi yaitu dalam perkembangan pertanian di beberapa Negara Asia. Perkembangan dan industri barang-barang jadi juga nampak berkembang. Makin baiknya tempat yang diduduki oleh barang barang ekspor dari daerah-daerah Asia di dalam pasaran dunia juga memberikan perbaikan dalam neraca perdagangan pada tahun 1959.

5. Dewan konsultatif mencatat adanya indikasi peningkatan pendapatan riil perkapita di daerah Asia secara keseluruhan. Kemajuan telah terjadi dalam perluasan jasa-jasa social yang esensiil di lapangan pendidikan dan kesehatan.

6. Dewan konsultatif memperhatikan bahwa pertambahan penduduk yang makin meningkat di Asia merupakan problem yang sangat berat, khususnya mengenai pengaruhnya terhadap perkembangan ekonomi.

7. Dewan konsultatif berpendapat bahwa proses perkembangan ekonomi tidak hanya tergantung pada mobilisasi sumber-sumber kekayan alam saja, tetapi tergantung pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu diperlukan latihan bagi pejabat-pejabat dan pendidikan teknik ditingkatkan.

8. Konferensi Rencana Colombo yang akan datang diadakan di Jepang pada tahun 1960.

Untuk kelancaran penyelenggaraan Konferensi Rencana Colombo tahun 1959 tersebut dibentuk suatu panitia yang terdiri dari dua badan yaitu Secretariat Konferensi dan Host Committee. Tugas pokok secretariat konferensi adalah menyelanggarakan suatu yang langsung berhubungan dengan materi persidangan. Sedangkan tugas pokok Host Committee adalah menyelenggarakan segala sesuatu mengenai urusan-urusan delegasi. Kedua badan ini selanjutnya dikoordinasikan dan diintregasikan oleh suatu executive board yang terdiri atas seseorang Sekretaris Jendral dan 4 orang wakil Sekretaris Jendral, termasuk ketua Host Committee sendiri. Masing-masing badan organisasi ini kemudian dibagi lagi dalam beberapa bagian dan seksi-seksi.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertama nomor: 317/MP/1959 Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku kepala Daerah Istimewa Yogyakarta diangkat sebagai ketua dan bendaharawan Host Committee dan Sekretaris Jendral departemen luar negeri Republik Indonesia, Suwito Kusumowidagdo, diangkat sebagai coordinator penyelenggaraan konferensi. Surat keputusan menteri pertama ini kemudian disusul dengan Surat Keputusan Menteri Luar Negeri No. SP/79/PL/X/59 yang membentuk secretariat Konferensi Rencana Colombo ke XI serta menunjuk Sekretaris Jendral departemen luar negeri, Suwito Kusumowidagdo, sebagai Sekretaris Jendral dan pejabat-pejabat tinggi Indonesia lainnya sebagai staf Sekretariat Konferensi. Surat keputusan tersebut kemudian disusun dengan surat keputusan No. SP/966/PL/X59 yang menetapkan daftar terakhir para anggota staf Sekretariat Konferensi.

Sebagai pelaksana Surat Keputusan Menteri Pertama tersebut di atas, maka Kepala Daerah Istimewa Yogyakrta dengan surat keputusan nomor: 16 dan 27/K/1959 menetapkan susunan Panitia Penyelenggara Konferensi Rencana Colombo ke XI. Kemudian dengan surat keputusan ketua host committee no.24/K/19590 di Jakarta dibentuk satu cabang dari host committee untuk menyelenggarakan penampungan para delegasi yang tiba di Jakarta dalam perjalanan mereka ke Yogyakarta dan yang kemudian pulang dari Yogyakarta ke Jakarta.

Seminar Nasional Pancasila Pertama di Yogyakarta :

Seminar ini berlangsung di Sasana Hinggil Dwi Abad, Kraton Kesultanan Yogyakarta pada 16 s.d. 20 Febuari 1959 merupakan filsafah Negara yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Menyadari akan kepentingannya nilai-nilai luhur yang terkandung dalamnya dan mengakuinya sebagai hasil perjanjian luhur bangsa Insonesia, maka para penuda yang bergabung dalam liga Pancasila ingin menyumbangkan pemikirannya terhadap bangsa dan Negara ke arah pengisian Pancasila dengan mengadakan Seminar Pancasila I di Yogyakarta. Mereka berusaha bersama-sama dengan golongan masyarakat Indonesia untuk mengembangkan acara Pancasila dan memperkaya perbendaharaan dengan memohon kepada para ahli untuk mengupas persoalan ang menyangkut kenegaraan dan kemasyarakatan dari segi Pancasila.

Seminar Nasional Pancasila Pertama ini berlangsung selama 5 hari dimulai tanggal 19 s.d. 20 Pebuari 1959 dan ditutup dengan sebuah acara resepsi di Gedung Agung Yogyakarta. Sedangkan kantor kesekretariatannya diselenggarakan di Gedung Dwi Sata Warsa Yogayakarta. Sebagai ketua keskretariatan adalah Soeratman.

Diselanggarakannya Seminar Nasional Pancasila ini bertujuan antara lain:

1. Berusaha merumuskan Pancasila dalam segala bidang kenegaraan dan kemasyarakatan

2. Memperkaya dan memperdalam ajaran yang timbul dari Pancasila

Rapat Seminar Nasional Pancasila Pertama dibuka oleh ketua panitia Drs.Imam Pratignyo hadir dalam pembukaan tersebut antara lain Sri Sultan Hamengku Buwono IX, KGPAA Sri Paku Alam VIII, Kepala Daerah Kotapraja, Pembesar Sipil dan Militer serta para tamu undangan yang lain. Dalam pembukaan seminar dikumandangkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Seminar Nasional Pancasila I di Yogyakarta dihadiri kurang lebih 1.250 orang yang terdiri dari anggota Liga Pancasila seluruh Indonesia, para sarjana dan peminat ajaran Pancasila serta para undangan dan wakil-wakil organisasi. Turut diundang pula pada seminar tersebut beberapa tokoh Indonesia untuk menyampaikan prasaran atau sambutan pikirannya antara lain :

a. Yang Mulia Menteri P dan K Prof. Dr.Prijono, yang menyampaikian sumbang saranya tentang Pancasila dan Moral Nasional tanggal 16 Februari 1959

b. Prof. Mr. Muhammad Yamin, menyampaikan Tinjauan Pancasila terhadap revolusi Fungsional pada tanggal 16 Februari 1959

c. Prof. Dr. N.Drijakara SJ, menyampaikan Pancasila dan Religi pada tanggal 17 Pebruari 1959.

d. Prof. Mr. Notonagoro, menyampaikan Berita Pikiran Ilmiah Tentang Kemungkinan Jalan Keluar dari Kesulitan Mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Pebruari 1959

e. H.Roeslan Abdul Ghani, menyampaikan Pancasila sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin pada tanggal 18 Pebruari 1959

Senin pagi tanggal 16 Pebruari 1959 merupakan hari pertama sidang. Sidang ini menanggapi dari Prof. Mr. Muhammad Yamin tentang Tinjauan Pancasila terhadap Revolusi Nasional. Sidang dipimpin oleh Drs. Imam Pratignyo. Setelah diadakan rapat lebih lanjut antara panitia yang selalu didampingi oleh Prof. Dr. M. Sardjito dengan pemrasaran di Gedung Negara tanggal 16 Pebruari 1959 pukul 23.00 s.d. 02.00 dan rapat khusus antara penyimpul sendiri di Hotel Merdeka tanggal 17 Pebruari 1959 pukul 17.00 s.d. 20.00, panitia menyimpulkan bahwa prasaran dari pemrasaran dapat diterima dan sama sekali Pancasila tidak diperdebatkan.

Pada tanggal 17 Pebruari 1959 sidang dilanjutkan dengan pemrasaran Prof.Dr.N.Drijarkara SJ. Prasaran yang disampaikan tentang Pancasila dan Religi. Sidang umum dipimpin oleh Drs. Parmadji dibantu Drs. Kuntowijoyo sebagai wakil. Waktu sidang dibagi menjadi dua yaitu sidang umum pukul 08.30 s.d. 10.00 dan sidang khusus pukul 20.00 s.d. 23.30 dan bertempat Hinhhil Dwi Abad Yogyakarta.

Kesimpulan sidang yang berpokok masalah pemisahan antara Negara dan agama. Negara tidak bersifat indifferent terhadap agama, bahkan memberikan jaminan yang baik bagi kedudukan agama dalam Negara. Hari itu juga dilanjutkan dengan penyampaian prasaran dari Prof. Mr. Drs. Notonagoro mengenai Berita Pikiran Ilmiah Tentang Kemungkinan jalan keluar dari Kesulitan mengenai Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Pimpinan sidang dipegang oleh Mr. Mashuri Saleh. Berlangsung di Sasana Hinggil Dwi Abad Yogyakarta pukul 11.00 s.d. 14.30.

Pada tanggal 18 Pebruari 1959 sidang dilanjutkan dengan menanggapi prasaran dari H. Roeslan Abdul Gani tentang Pancasila sebagai Landasan Demokrasi Terpimpin. Ketua sidang adalah Drs. Imam Pratignyo. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa ide Demokrasi Terpimpin dan hal-hal penting sebagaimana yang dikemukakan dalam prasaran dirasa perlu meluaskan penyebaran dengan berbagai usaha antara lain dengan penerangan-penerangan, diskusi, penerbitan dan lain sebagainya.

Setelah membaca semua kesimpulan yang dirumuskan oleh panitia perumus yang terdiri dari 4 kelompok, panitia seminar menyimpulkan bahwa :

1. Pancasila sebagai Dasar Negara RI tidak perlu diperdebatkan lagi.

2. Demokrasi terpimpin sebagai alat penyelenggaraan pemerintahan untuk merealisasi cita-cita Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.

3. Masuknya golongan fungsional dalam badan-badan kenegaraan.

4. Azas Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa sebagai salah satu sila dalam rangka kesatuan Pancasila yang bias menjamin adanya pemeliharaan dan perkembangan keyakinan agama.

5. Kembalinya secara prinsipil pada UUD Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kesimpulan yang telah tertulis ini kemudian ditandatangani di Yogyakarta pada tanggal 20 Pebruari 1959 oleh Panitia Seminar Pancasila Pertama di Yogyakarta, Drs. Imam Pratignyo sebagai ketua dan Soeprapto, BA sebagai sekretaris. Setelah dianggap cukup maka Seminar Nasional Pancasila I ditutup pada tanggal 20 Pebruari 1959 dengan malam penutupan yang berlangsung di Gedung Agung. Kesimpulan hasil seminar pun dibacakan.

Hadir dalam acara penutupan tersebut antara lain Menteri Penerangan Soedibjo, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Hadir pula Presiden Soekarno yang berkenan memberikan amanatnya pada acara terakhir dalam resepsi tersebut. Setelah pidato pembukaan oleh Drs. Imam Pratignya kemudian dilanjutkan pembacaan hasil seminar. Juga disampaikan berturut-turut sambutan dari Menteri Penerangan RI Soedibjo, sambutan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan yang terakhir adalah amanat Presiden Soekarno.

Keesokan harinya tanggal 21 Pebruari 1959, di Siti Hinggil Kraton Yogyakarta, Presiden Sukarno berkenan memberikan kuliah umum mengenai Keadilan Sosial dan Demokrasi Terpimpin. Kemudian pada sore harinya di Alun-alun Utara Yogyakarta meski diwarnai hujan lebat berlangsung rapat raksasa untuk kembali ke UUD 1945. Berkenan sebagai pembicara pada acara tersebut antara lain Prof. Mr. Muhammad Yamin, H. Roeslan Abdul Gani dan Chaerul Saleh. Juga berkenan Presiden Sukarno memberi wejangan.

Peristiwa ini lebih memantapkan lagi usaha-usaha untuk kembali ke UUD 1945, sehingga secara tidak langsung Yogyakarta telah berperan aktif hingga lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang kembalinya Negara ke UUD 1945.

Tri Komando Rakyat (TRIKORA) :

Pada tanggal 19 Desember 1961 di Alun-alun Utara, Yogyakarta Presiden Sukarno berpidato dan mencetuskan TRIKORA (Tri Komando Rakyat) dalam rangka Pembebasan Irian Barat dari kekuasaan Belanda. Pemilihan waktu dan tempat dicetuskannya Trikora ini dilakukan oleh Mohammad Yamin. Tanggal 19 Desember merupakan tanggal disaat Belanda melakukan pengeboman atas kota Yogyakarta dalam agresi militer keduanya. Dan Kota Yogyakarta dipilih untuk mengenang usaha pengusiran Belanda dari Jakarta yang dilakukan oleh Sultan Agung tahun 1628 dan 1629. Trikora tersebut antara lain berisi :

1. Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua bikinan colonial Belanda.

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum.

Langkah pertama dari pelaksanaan Trikora adalah pembentukan komando operasi yang diberi nama Komando Mandala. Komando ini dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962. Sebagai panglima diangkat Mayjen Soeharto. Sedangkan Wakil I Panglima Kolonel laut Subono, Wakil II Panglima Kolonel Udara Leo Watimena. Dan sebagai Kepala Staf Gabungan Kolonel Achmad Tahir. Markas Komando Mandala bertempat di Ujung Pandang.

Untuk komando tertinggi pembebasan Irian Barat, berhasil disusun pada bulan Januari 1962 sebagai berikut :

1. Panglima Besar : Presiden / Panglima Tertinggi Ir. Sukarno

2. Wakil Panglima Besar : Jenderal A.H.Nasution

3. Kepala Staf : Letjen Ahmad Yani

Komando Mandala yang dibentuk pada tanggal 2 Januari 1962 mempunyai tugas antara lain :

1. Menyelenggarakan operasi militer pembebasan Irian Barat.

2. Memimpin dan mempergunakan segenap pasukan bersenjata, barisan perlawanan rakyat maupun potensi nasional lainnya dalam lingkungan kekuasaannya untuk membebaskan wilayah Irian Jaya.

Peristiwa G 30 S/PKI Di Daerah Istimewa Yogyakarta :

Tahun 1926 Ir. Sukarno telah merintis perlunya persatuan Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme demi terciptanya tujuan perjuangan. Semasa Demokrasi Terpimpin Bung Karno memerlukan dukungan PKI untuk menghidupkan kembali gagasan persatuan tersebut dengan menciptakan persatuan golongan Nasionalis, Agama dan Komunis yang terkenal dengan Nasakom. Tetapi oleh karena kepandaian PKI maka Nasakom diidentikan dengan Pancasila. Siapa yang menerima Pancasila berarti menerima Nasakom.

Setelah kegagalannya dalam peristiwa Madiun Affair (Pemberontakan PKI Madiun) September 1948, secara perlahan PKI tumbuh menjadi partai besar. Pada pemilu 1955 PKI muncul sebagai partai ke 4 pemenang pemilu berkat kepemimpinan D.N. Aidit. Pemilu merupakan langkah konstitusional PKI untuk meneruskan perjuangannya. Namun perjuangan tersebut merupakan titik awal dari usahanya untuk merebut kekuasaan dengan jalan kekerasan.

Setelah dipelajari seluruhnya maka PKI segera membentuk gerakan tandingan yang dinamai Dewan Revolusi. Untuk menghindari resiko kegagalan maka yang memegang pimpinan adalah para tokoh ABRI yang sudah terbujuk oleh PKI, bukanlah para tokoh pimpinan PKI. Sebagai ketua Dewan Revolusi adalah Letkol Untung. Dengan begitu kalau aksi ini mengalami kegagalan PKI tidak dilibatkan dan dianggap masalah tersebut sebagai masalah intern Angkatan Darat.

Sementara itu di Yogyakarta tanggal 1 Oktober 1965 kegiatan berjalan seperti biasa. Baru pada siang harinya setelah terdengar siaran RRI yang mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi dan diamankannya beberapa perwira TNI AD dari anggota Dewan Jenderal muncul kesimpang siuran. Ketidak pastian tersebut ditambah lagi dengan adanya penentuan bahwa pangkat tertinggi hanya Letnan Kolonel.

Bagi para pendukung PKI menganggap bahwa keluarnya pengumuman tersebut menjadi tanda harus dibentuknya Dewan Revolusi di daerah dan menyatakan dukungannya. Di Jawa Tengah, para pendukung G 30 S / PKI Jakarta, melakukan perebutan kekuasaan terhadap pimpinan AD di Kodam yang dilakukan oleh oknum ABRI hasil binaan PKI. Mereka itu antara lain Kolonel Sahirman, Kolonel Haryono, Letnan Kolonel Usman Sastrodibroto. Sedangkan pasukan yang berhasil dipengaruhi PKI antara lain Yonif “K” pimpinan Mayor Kaderi, Yonif “D” pimipinan Mayor Soepardi, Yonif “L” pimpinan Mayor Wisnuraji dan Kompi Yonif “C”.

Mereka menduduki Kodam VII / Diponegoro, kantor pemerintah, dan alat-alat telekomunikasi. Kolonel Sairman menyatakan dukungannya terhadap G 30 S / PKI di Jakarta. Segera diikuti pula dengan dukungan tempat-tempat lainnya, termasuk dari Korem 072 Yogyakarta oleh Kasi V Mayor Mulyono.

Tanggal 1 Oktober 1965 RRI Yogyakarta telah dikuasai oleh para pemberontak. Melalui corong RRI tersebut Mayor Mulyono mengumumkan bahwa di Yogyakarta telah dibentuk Dewan Revolusi dan dia sendiri sebagai ketuanya. Juga pimpinan Korem 072 berada ditangannya.

Sementara itu Markas Korem 072 yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman diduduki pemberontak. Sedangkan Danrem dan Kasrem masing-masing Kolonel Katamso dan Letkol Soegiyono diculik oleh pemberontak dan kemudian dibunuh oleh para pengkianat di Kompleks Batalyon L Kentungan melalui algojo-algojonya antara lain Sertu Alip Toyo, Serda Darmo, Serda Katimin dan Pelda Kamil. Kemudian jenazah kedua beliau dikubur dalam satu liang.

Pada tanggal 3 Oktober 1965 RRI Pusat Jakarta menyiarkan pidato Presiden yang membackan keputusan tentang penunjukan Mayor Jenderal Soeharto sebagai pimpinan Angkatan Darat sejak 1 Oktober 1965 dan ditugaskan untuk menyelenggarakan pemulihan keamanan dan ketertiban. Sebelumnya pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 19.00 Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima KOSTRAD melalui RRI pusat Jakarta menyatakan bahwa apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September adalah gerakan kontra revolusioner yang didalangi oeh PKI.

Sementara itu tanggal 1 s.d. Oktober 1965 Yogyakarta masih dikuasai oleh pemberontak. Kemudian Kolonel Widodo diberi tugas untuk mengamankan Yogyakarta dan merebut kembali markas Korem 072. Mayor Mulyono yang tidak mendapat dukungan, tanggal 3 Oktober 1965 meninggalkan Yogyakarta dan beberepa waktu kemudian tertangkap di sebuah desa di Boyolali. Sebagai ganjarannya mahkamah Militer menjatuhi hukuman mati. Demikian pula dengan para algojo yang berhasil ditangkap. Sejak itulah Korem 072 kembai dalam Slagorde Kodam VII Diponegoro.

Karena keberhasilan itu maka Pangdam VII Diponegoro Mayjen Soerjosumpeno menunjuk untuk sementara waktu Kolonel Widodo sebagai “caretaker” Danrem 072 selama Brigjen Katamso belum diketahui nasibnya mulai tanggal 5 Oktober 1965. Untuk selanjutnya Kolonel Widodo memerintahkan Kapten Suryotomo untuk segera mengetahui nasib perwira yang diculik pemberontak.

Setelah beberapa hari dilakukan penyelidikan dan lokasi tempat penguburan jenazah kedua perwira TNI AD tersebut maka pada tanggal 20 Oktober 1965, setelah Batalyon L diberangkatkan ke luar daerah pada tanggal 18 Oktober 1965 penggalian jenazah dimulai. Pimpinan penggalian ditunjuk Mayor. M. Said dari POM dengan anggota dari POM, Kasrem, dan Zibang. Sebelumnya telah dibentuk tim pembuktian ulang yang dipimpin oleh Kapten Suryotomo dengan anggota Peltu Loto, Serma Suwandi, dan Kopda Sugiyo serta dua orang dari Zipur. Penyelidikan telah dimulai sejak tanggal 18 Oktober 1965. Tanggal 20 Oktober 1965 pukul 16.30 penggalian jenazah dimulai. Setelah terbukti jenazah masih ditemukan maka ditimbun kembali. Kemudian untuk penggalian dan pengangkatan jenazah seluruhnya dilakukan pada tanggal 21 Oktober 1965 dimulai pukul 06.00 WIB.

Baru sedalam 1 meter jenazah telah ditemukan. Mula-mula Kolonel Katamso menyusul kemudian Letkol Sugiyono. Guna penelitian lebih lanjut jenazah dibawa ke Kesrem 072. Selanjutnya pada tanggal 22 Oktober 1965 kedua jenazah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Semaki dalam upacara kebesaran militer. Untuk mengenang peristiwa tersebut maka di lokasi terjadinya pembunuhan dibangun sebuah monumen dengan nama Monumen Pahlawan Pancasila.



0 komentar:

Museum Benteng Vredeburg

Foto saya
Jl. Jenderal Ahmad Yani 6 Yogyakarta 55121 Telp. (0274) 586934, Fax. (0274) 510996 e-mail : vrede_burg@yahoo.co.id

Museum Perjuangan

Pengikut

 
Salam Sahabat Museum, Yuk Ke MUSEUM BENTENG VREDEBURG YOGYAKARTA, Kita Semarakkan Tahun Kunjung Museum, AYO KE MUSEUM......